RAHASIA
AKSI WAJAH BARAT
Peristiwa
gedung WTC New York dan Pentagon di Washington pada tanggal 11 September 2001
masih tebayang jelas dalam ingatan. Kejadian yang di vonis sebagai
serangan “teroris” tersebut sampai kini tidak jelas siapa yang melakukannya.
Dan tak pernah ada bukti-bukti konkrit tentang pelakunya. Amerika Serikat
melakukan Invasi ke Afganistan dengan dalih “Perang Menumpas Terorisme” yang
mengambil korban tewas lebih dari 30.000 jiwa kaum muslimin Afghani, sepuluh
kali lipat jumlah korban 11 September 2001. Demikian ungkapan Zaini Azhar
Maulani dalam kata pengantar buku yang ditulisnya berjudul “Mengapa? Barat
Memfitnah Islam”.[1]
Ungkapan
ini bukan serta merta terucap tanpa fakta, Nyatanya AS yang mengklaim dirinya
sebagai “kampium demokrasi” selama satu dasawarsa lalu tidak pernah
berhenti melancarkan perang dari satu negara Islam ke negara Islam yang lain.
Dalam
halaman selanjutnya, beliau menjawab pertanyaan judul buku secara global yakni,
“Adanya dendam bawah sadar yang mengalir dari ingatan ketika armada daulah
Utsmaniyyah menguasai kawasan Laut Tengah dan pasukan daratannya menyapu Eropa
mengancam sampai ke pintu gerbang Wina, Austria. Ada penyakit arogansi kultural
Barat yang secara fisik masih mengangkangi hegemoni atas negara-negara Dunia
Ketiga pada umumnya dan dunia Islam pada khususnya.” jelasnya. Dibalik itu
terdapat keterlibatan Gereja Kristen
yang bekerja sama dengan gerakan zionisme internasional, meski masing-masing
dengan motif dan kepentingan yang berbeda-beda. Tambahnya dalam menjelaskan.[2]
Tidak
hanya dengan kekerasan, Barat melancarkan aksinya. Strategi licik karena
diselimuti ketakutan terhadap muslim tak henti menjadi misi mereka. Penyebaran
faham-faham ke dalam negara-negara Islam salah satu bukti nyata. Faham-faham
tersebut antara lain, sekularisme, liberalisme, feminisme.
Sekularime,
berasal dari bahasa Latin saeculum yang mengandung makna ‘waktu’ dan
‘tempat’. Sehingga secular diartikan ‘kedisinikinian’. Sekularisasi
didefinisikan sebagai pembebasan manusia ‘pertama dari kungkungan agama dan
kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya. Faham ini lahir dari permasalahan agama
Kristen yang terjadi pada abad 17 hingga 19. Dan permasalahan teologis (wujud
Tuhan) yang masih membingungkan, sehingga dengan cara pandang relativis ini
membolehkan seseorang itu menyesuaikan diri dengan ‘pengalaman masa kini’.
Permasalahan konsep Tuhan yang tidak selesai membuat mereka berniat membuangnya
sama sekali dan menyerahkan kepada sejarah untuk menemukan konsep yang lebih
sesuai dan memadai untuk merujuk kepada keadaan dan realitas terakhir yang
mereka yakini.[3]
Liberalisme,
kata ini juga berasal dari bahasa Latin yang artinya bebas dan bukan budak atau
suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Sejarah
paham liberalism ini dilacak hingga abad pertengahan. Lahir dari kondisi system
ekonomi dan politik yang didominasi oleh system feodal. Didalam system ini,
raja dan bangsawan memiliki hak-hak istimewa, sedangkan rakyat jelata tidak
diberikan secara leluasa untuk menggunakan hak-hak mereka. Awal liberalism
sendiri di tandai dengan perlawanan dan pembataan terhadap kekuasaan pemerintah
yang cenderung absolut, selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang
terjadi pada tahun 1688.[4]
Feminisme,
sebuah faham yang berkaitan dengan HAM (Hak Asasi Manusia) seorang wanita.
Femina, feminisme, feminis berasal dari bahasa Latin fei-minus. Fei
artinya iman, minus artinya kurang, jadi feminus artinya kurang iman.
Wanita di Barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia kurang iman.
Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho. Lawan dari feminis adalah masculinus
atau masculine yang diartikan sebagai strength of sexuality, maka
dari itu dalam agama, wanita Barat korban inquisisi dan di masyarakat
menjadi korban perkosaan laki-laki. Karena itu agama dan laki-laki menjadi
musuh wanita Barat.[5]
Feminis terbagi menjadi feminis liberal feminis Marxis, dan feminis posmo. Kristen itu menindas perempuan, kata Stanton
dalam The Women’s Bible.[6]
Dapat
kita lihat akar-akar faham yang disebarkan dan dijadikan sebagai salah satu
indikator kemajuan suatu bangsa dengan berkiblat terhadap Barat perlu dikaji
kembali. Dalam pandangan yang dapat dikatakan mendunia, sebuah masyarakat
disebut modern jika ditemukan tiga faktor meliputi, diferensiasi fungsi dan
struktur sosial, ditandai dengan sistim birokrasi dan profesionalisme. Ini
disertai oleh fragmentasi ideologi dan maraknya tren pluralism dan relativisme.
; privatisasi agama sebagai konsekuensi dari
kehidupan yang lebih terorganisir dan terjamin, sehingga agama dirasakan tidak
relevan jika tidak berpengaruh dengan konteks sosial. ; terjadinya
rasionalisasi dimana sains dan tekhnologi tampil dominan menggantikan mitologi.
Masalah-masalah
diatas terjadi karena kesalahan ajaran agama yang di anut. Islam adalah
rahmatalil’alamiin. Din yang membawa kebenaran karena merupakan agama wahyu.
Dengan keimanan, seorang muslim akan menjadi tangguh dan membuat musuh-musuhnya
begemetar. Hal ini yang terjadi ketika masa rasulullah hingga saat ini. Dengan
ketakutan Barat terhadap hal ini, ia memilih strategi untuk menjauhkan Muslim
dari agamanya. Oleh karena itu seorang muslim akan sangat rapuh dan mudah untuk
menjadi ‘boneka’ yang menguntungkan mereka jika ia menjauhkan dirinya dari
aturan-aturan Islam. Hal ini adalah salah satu sebab menggandengkan cap
‘tetoris’ dengan orang yang beribadah khusyuk. Wallahu’alam bishawab.
[1] Z.
A. Maulani. 2002. Mengapa? Barat Memfitnah Islam. Daseta : Jakarta. Hal.
viii
[2]
Ibid. Hal. X
[3]
Lebih jelas. Lihat Buku Syed
Muhammad Naquib Al-Attas. Islam dan sekularisme.
2011. PIMPIN : Bandung.
[4]
Hamid FAhmy Zarkasyi. 2009. Liberalisasi Pemikiran Islam. CIOS :ISID
[5]
Hamid Fahmy Zarkasyi. 2012. MISYKAT Refleksi Tentang Islam, Westernisasi &
Liberalisasi. Hal. 265
[6]
Ibid. dikutip dari hal. 267
Tidak ada komentar:
Posting Komentar