Pendidikan Adab
Sebuah Benteng
Aqidah Sejak Awal
Naufa Al-Khansa
(Santriwati Pesantren Mahasiswa Pascasarjana
“Lir-Ilir”, Karang Pandan)
“Anak saya tidak akan saya masukkan ke sekolah
nanti, saya akan mendidiknya sendiri”, demikian seorang laki-laki bercerita. “Saya akan mengajarnya sendiri di rumah. Saya membuat kurikulumnya. Sampai
dengan kelas tiga (delapan tahun) anak saya hanya akan saya ajarkan ilmu-ilmu
Islam aqidah, baca tulis al-qur’an, dan bahasa arab juga inggris. Setelah itu,
ketika ia sudah mantap, saya akan mengajarinya pelajaran-pelajaran lain yang
diajarkan di sekolah. Saya rasa pelajaran SD yang ditempuh selama enam tahun
akan dapat diselesaikan maksimal saat ia berumur 11 tahun (sama dengan umur
sebayanya), dengan ilmu agama yang sudah terpupuk, dan ilmu yang lainnya yang
sudah dipelajari, saya yakin dia akan dapat bersaing dengan teman-teman
sebayanya bahkan bisa lebih unggul. Untuk melanjutkan jenjang ke SMP, dia
bisa mengikuti program pemerintah kejar
paket A, dan B sehingga jika dia ingin sekolah formal, saya rasa itu mudah.
Saya tidak ingin anak saya kehilangan masa-masa emas perkembangannya dengan
menghabiskan waktu di sekolah formal yang hasilnya kita dapat lihat”
Sungguh unik bapak satu anak pengajar dan pendiri bimbingan belajar bahasa Inggris dengan sistem pondok yang salah satunya berdiri di Pare ‘Kampung Inggris’ Jawa Timur ini. Pandangan
ini mungkin tidak hanya ada dalam pikiran beliau. Pendidikan formal saat ini
hanya berkonsentrasi kepada ilmu-ilmu dunia, umumnya dikatakan ‘ilmu dasar’ pada
tingkat SD, SMP, dilanjutkan SMA, dengan kurikulum Mendiknas. Tidak bisa
menghasilkan seorang yang berkualitas penuh. Bahkan, hingga lulusan perguruan tinggi. Lulusan
dengan gelar Sarjana Agama sekali
pun misalnya, belum bisa dikatakan kompeten dan
berwawasan sebagai ulama.
Prof. Dr. Muhammad Naquib Al-Attas dalam buku Islam dan Sekularisme
membahas singkat, gambaran yang terjadi saat ini. Beliau menjelaskan faktor
penyebab masalah utama masyarakat Islam hari ini berasal dari dunia kita
sendiri dan sejarah intelektual kita sendiri, sedangkan faktor lainnya berasal
dari luar sebagai akibat konfrontasi sejarah kebudayaan dan peradaban Barat
terhadap Islam. Dan sebab-sebab konfrontasi ini harus
ditelusuri dari zaman awal pembentukan Kristen sebelum datangnya Islam.
(2011: 119)
Akar masalah semua dilema ini antara lain
disebabkan : (1) Kekeliruan dan kesalahan
dalam ilmu. Peningkatan ilmu fardu kifayah (sains, ilmu-ilmu sosial,
dsb) dan penekanan peranannya dalam kehidupan tanpa diimbangi dengan ilmu fardu
‘ain (aqidah, sejarah islam, bahasa Arab, tauhid, fiqih, Al-qur’an dan
Hadist) pada semua tingkat pendidikan, secara alami mengarahkan perhatian
semata-mata kepada masalah negara dan masyarakat. Karena negara dan masyarakat
adalah rujukan sebenarnya dalam fardu kifayah. Sehubungan dengan faktor
tersebut, mengakibatkan kecendrungan dalam urusan kehidupan orang Islam yang menjurus
pada ’sosialisasi’ Islam dan pada penyemarataan Nabi Muhammad saw ditingkat
yang sama dengan orang umumnya. Sosialisasi, rasionalisme seperti yang difahami
di Barat, berasal dari rasio bukan dari ‘aql ( yang didasarkan dari Al-Qur’an).;
(2) Kehilangan adab di kalangan umat. ; (3) Kemunculan pemimpin-pemimpin yang
tidak layak untuk memimpin umat Islam. Pemimpin model ini tidak memiliki taraf normal,
intelektual dan spiritual yang tinggi sebagaimana dalam kepemimpinan Islam.
(Al-Attas, 2011: 130)
Adab adalah hal
penting untuk kemajuan sebuah bangsa. Kata adab merupakan kata dasar dari
peradaban. Peradaban yang maju bukan hanya dinilai dari hasil bangunan yang
terdapat dalam kota atau negara tersebut. Menisbatkan bukti-bukti fisik untuk
memahami peradaban, membuat kita lupa
bahwa bangunan tidak akan wujud tanpa
pikiran, kepercayaan, agama, ideologi dan yang terpenting adalah ilmu
pengetehuan dibalik itu semua. Peradaban Islam sangat komplek dan cakupannya
seluas kehidupan sendiri. Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan
prinsip-prinsip kehidupan yang bersifat menyeluruh. (Hamid Fahmy, 2011: 11)
Bertolak belakang
dengan penampakan dalam kondisi negara muslim
di dunia, Islam dengan ajarannya yang sempurna dan ilmuwan-ilmuwan yang dapat
dijadikan sumber dalam sains sudah terlahir sebelumnya, namun sebagian besar
dunia pendidikan memilih cara lain (Barat yang telah tersekularkan) dalam
berilmu dan silau terhadap kehebatan –yang dirancang publik— mereka. Para ilmuwan di Barat pada umumnya
bercara pandang saintik sekularistik sehingga melihat segala sesuatu
secara dikotomi. Terlihat sederhana, namun dampaknya adalah terjadinya krisis
yang menuju jurang kehancuran, khususnya aqidah dan moral masyarakat.
Sekularisasi ilmu menghasilkan ‘Skepsis’
(keragu-raguan). Penyusupan konsep-konsep kunci dari dunia Barat telah membawa
kekeliruan, karena apa yang dirumuskan dan disebarkan melalui banyak universitas
dan lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi
sebenarnya adalah ilmu yang mengandung watak, kpribadian, kebudayaan, dan
peradaban Barat dan dibentuk dalam cetakan budaya Barat. (Al-Attas, 2011: 200).
Dengan konsep Islam kita dapat menilai bagaimana perkembangan yang terjadi di
Barat. Apakah yang demikian bisa kita jadikan acuan untuk menuju bangsa yang
maju?
Islam adalah agama
yang sudah sempurna, seorang muslim yang memiliki keimanan yang tertancap kuat
dalam dirinya, ibadah menjadi penghias kecantikan atau ketampanannya, dan adab
sebagai penyempurna eksistensinya, ia akan tumbuh menjadi seseorang yang
militan dan berkarakter kuat. Dr.
Douwes Dekker (Setyabudi) menyatakan, bahwa kalau tidak ada semangat Islam
sudah lama kebangsaan yang sebenarnya, lenyap dari Indonesia. (Prodjokusumo,
196)
Berkarakter sangat
penting, tetapi harus disertai dengan adab, demikian Dr. Adian Husaini menyebut
dalam pengantar bukunya. “Pembentukan ‘manusia beradab’, juga ditekankan dalam
sila kedua dari Pancasila. Memang agak aneh, bahwa soal ‘adil’ dan ‘adab’
kurang ditekankan dan dijelaskan secara benar di sekolah-sekolah. Padahal, dua istilah
tersebut merupakan bagian dari istilah dan konsep pokok dalam ajaran Islam”.
Adapun solusi dari
masalah pendidikan Islam yang sudah meluas ini adalah dengan mengasingkan
ilmu-ilmu sains seperti fisika dan ilmu terapan, serta ilmu lainnya.
Setelah diasingkan, ilmu yang telah terbebaskan dari proses pensekuleran itu
kemudian diisi dengan unsur-unsur dan konsep kunci Islam (Islamisasi). Tugas
penting selanjutnya adalah merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang
utama serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu kandungan ilmu
teras (fardhu kifayah) untuk kemudian di tempatkan dalam sistim pendidikan
Islam, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. [Sus]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar