Senin, 15 Juli 2013

Pendidikn Adab



Pendidikan Adab
Sebuah Benteng Aqidah Sejak Awal

Naufa Al-Khansa
(Santriwati Pesantren Mahasiswa Pascasarjana “Lir-Ilir”, Karang Pandan)

 “Anak saya tidak akan saya masukkan ke sekolah nanti, saya akan mendidiknya sendiri”, demikian seorang laki-laki bercerita. “Saya akan mengajarnya sendiri di rumah. Saya membuat kurikulumnya. Sampai dengan kelas tiga (delapan tahun) anak saya hanya akan saya ajarkan ilmu-ilmu Islam aqidah, baca tulis al-qur’an, dan bahasa arab juga inggris. Setelah itu, ketika ia sudah mantap, saya akan mengajarinya pelajaran-pelajaran lain yang diajarkan di sekolah. Saya rasa pelajaran SD yang ditempuh selama enam tahun akan dapat diselesaikan maksimal saat ia berumur 11 tahun (sama dengan umur sebayanya), dengan ilmu agama yang sudah terpupuk, dan ilmu yang lainnya yang sudah dipelajari, saya yakin dia akan dapat bersaing dengan teman-teman sebayanya bahkan bisa lebih unggul. Untuk melanjutkan jenjang ke SMP, dia bisa mengikuti program pemerintah kejar paket A, dan B sehingga jika dia ingin sekolah formal, saya rasa itu mudah. Saya tidak ingin anak saya kehilangan masa-masa emas perkembangannya dengan menghabiskan waktu di sekolah formal yang hasilnya kita dapat lihat”
Sungguh unik bapak satu anak pengajar dan pendiri bimbingan belajar bahasa Inggris dengan sistem pondok yang salah satunya berdiri di Pare Kampung Inggris Jawa Timur ini.  Pandangan ini mungkin tidak hanya ada dalam pikiran beliau. Pendidikan formal saat ini hanya berkonsentrasi kepada ilmu-ilmu dunia, umumnya dikatakan ‘ilmu dasar’ pada tingkat SD, SMP, dilanjutkan SMA, dengan kurikulum Mendiknas. Tidak bisa menghasilkan seorang yang berkualitas penuh. Bahkan, hingga lulusan perguruan tinggi. Lulusan dengan gelar Sarjana Agama sekali pun misalnya, belum bisa dikatakan kompeten dan berwawasan sebagai ulama.
Prof. Dr. Muhammad Naquib Al-Attas dalam buku Islam dan Sekularisme membahas singkat, gambaran yang terjadi saat ini. Beliau menjelaskan faktor penyebab masalah utama masyarakat Islam hari ini berasal dari dunia kita sendiri dan sejarah intelektual kita sendiri, sedangkan faktor lainnya berasal dari luar sebagai akibat konfrontasi sejarah kebudayaan dan peradaban Barat terhadap Islam. Dan sebab-sebab konfrontasi ini harus ditelusuri dari zaman awal pembentukan Kristen sebelum datangnya Islam. (2011: 119)
Akar masalah semua dilema ini antara lain disebabkan : (1) Kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu. Peningkatan ilmu fardu kifayah (sains, ilmu-ilmu sosial, dsb) dan penekanan peranannya dalam kehidupan tanpa diimbangi dengan ilmu fardu ‘ain (aqidah, sejarah islam, bahasa Arab, tauhid, fiqih, Al-qur’an dan Hadist) pada semua tingkat pendidikan, secara alami mengarahkan perhatian semata-mata kepada masalah negara dan masyarakat. Karena negara dan masyarakat adalah rujukan sebenarnya dalam fardu kifayah. Sehubungan dengan faktor tersebut, mengakibatkan kecendrungan dalam urusan kehidupan orang Islam yang menjurus pada ’sosialisasi’ Islam dan pada penyemarataan Nabi Muhammad saw ditingkat yang sama dengan orang umumnya. Sosialisasi, rasionalisme seperti yang difahami di Barat, berasal dari rasio bukan dari ‘aql ( yang didasarkan dari Al-Qur’an).; (2) Kehilangan adab di kalangan umat. ; (3) Kemunculan pemimpin-pemimpin yang tidak layak untuk memimpin umat Islam. Pemimpin model ini tidak memiliki taraf normal, intelektual dan spiritual yang tinggi sebagaimana dalam kepemimpinan Islam. (Al-Attas, 2011: 130)
Adab adalah hal penting untuk kemajuan sebuah bangsa. Kata adab merupakan kata dasar dari peradaban. Peradaban yang maju bukan hanya dinilai dari hasil bangunan yang terdapat dalam kota atau negara tersebut. Menisbatkan bukti-bukti fisik untuk memahami peradaban, membuat kita lupa  bahwa bangunan tidak akan wujud tanpa  pikiran, kepercayaan, agama, ideologi dan yang terpenting adalah ilmu pengetehuan dibalik itu semua. Peradaban Islam sangat komplek dan cakupannya seluas kehidupan sendiri. Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang bersifat menyeluruh. (Hamid Fahmy, 2011: 11)
            Bertolak belakang dengan  penampakan dalam kondisi negara muslim di dunia, Islam dengan ajarannya yang sempurna dan ilmuwan-ilmuwan yang dapat dijadikan sumber dalam sains sudah terlahir sebelumnya, namun sebagian besar dunia pendidikan memilih cara lain (Barat yang telah tersekularkan) dalam berilmu dan silau terhadap kehebatan –yang dirancang publik—  mereka. Para ilmuwan di Barat pada umumnya bercara pandang saintik sekularistik sehingga melihat segala sesuatu secara dikotomi. Terlihat sederhana, namun dampaknya adalah terjadinya krisis yang menuju jurang kehancuran, khususnya aqidah dan moral masyarakat.
Sekularisasi ilmu  menghasilkan ‘Skepsis’ (keragu-raguan). Penyusupan konsep-konsep kunci dari dunia Barat telah membawa kekeliruan, karena apa yang dirumuskan dan disebarkan melalui banyak universitas dan lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi sebenarnya adalah ilmu yang mengandung watak, kpribadian, kebudayaan, dan peradaban Barat dan dibentuk dalam cetakan budaya Barat. (Al-Attas, 2011: 200). Dengan konsep Islam kita dapat menilai bagaimana perkembangan yang terjadi di Barat. Apakah yang demikian bisa kita jadikan acuan untuk menuju bangsa yang maju?
            Islam adalah agama yang sudah sempurna, seorang muslim yang memiliki keimanan yang tertancap kuat dalam dirinya, ibadah menjadi penghias kecantikan atau ketampanannya, dan adab sebagai penyempurna eksistensinya, ia akan tumbuh menjadi seseorang yang militan dan berkarakter kuat.           Dr. Douwes Dekker (Setyabudi) menyatakan, bahwa kalau tidak ada semangat Islam sudah lama kebangsaan yang sebenarnya, lenyap dari Indonesia. (Prodjokusumo, 196)
            Berkarakter sangat penting, tetapi harus disertai dengan adab, demikian Dr. Adian Husaini menyebut dalam pengantar bukunya. “Pembentukan ‘manusia beradab’, juga ditekankan dalam sila kedua dari Pancasila. Memang agak aneh, bahwa soal ‘adil’ dan ‘adab’ kurang ditekankan dan dijelaskan secara benar di sekolah-sekolah. Padahal, dua istilah tersebut merupakan bagian dari istilah dan konsep pokok dalam ajaran Islam”.
            Adapun solusi dari masalah pendidikan Islam yang sudah meluas ini adalah dengan mengasingkan ilmu-ilmu sains seperti fisika dan ilmu terapan, serta ilmu lainnya. Setelah diasingkan, ilmu yang telah terbebaskan dari proses pensekuleran itu kemudian diisi dengan unsur-unsur dan konsep kunci Islam (Islamisasi). Tugas penting selanjutnya adalah merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang utama serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu kandungan ilmu teras (fardhu kifayah) untuk kemudian di tempatkan dalam sistim pendidikan Islam, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. [Sus]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar