MENINJAU KEMBALI KEBIJAKAN ATURAN IMPOR KEDELAI
“Bukan lautan hanya kolam susu, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Syair yang dipublikasikan oleh Koes Plus ini tersiar di seluruh telinga
generasi bangsa ini, bahkan kebenarannya diakui di dunia. Mengapa tidak,
luasnya daerah daratan dilengkapi dengan lautan, membuat tanah air ini seakan
tidak memerlukan bantuan dari kawasan di luarnya. Bahkan jika dikaji,
seharusnya pengoptimalan sumber daya
alam Indonesia cukup untuk mengekspor hasil bumi ke negara lain. Inilah alasan
kecil yang memotivasi bahwa “Indonesia
Bisa Mandiri” terutama dalam sektor pangan.
Kemandirian Kedelai berbeda dengan ketahanan kedelai. Muhammad
Ro’is (Konsultan dan Trainer pertanian Rapid
Agrarian Confilict Appraisal yang dikenal dengan RACA Institute)
menjelaskan, “Indonesia baru berorientasi kepada ketahanan pangan, sedangkan
Kemandirian pangan berbeda dengan ketahanan pangan, jika hanya sekedar “tahan”
solusi impor pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negri merupakan salah satu
jalan keluar yang cukup dari masalah ini, berbeda jika orientasinya dirubah
menjadi kemandirian.”
Mengubah aturan impor kedelai
sebagai tawaran pemecahan solusi (yang katanya sementara, tapi batas waktunya
tidak ditentukan) seolah-olah menjadi “jurus dewa” yang mungkin kelak
menjadikan bangsa ini ketergantungan dengan dosis terus meningkat
bagaikan narkoba. Perjalanan globalisasi dalam kurun waktu yang cepat ini,
cukup untuk dijadikan bahan kajian para pengamat khususnya dalam dunia
pertanian. Dalam Tembakau, Negara dan Keserakahan Modal Asing (Ndaru,
dkk, 2012:15) dijelaskan bahwa setelah swasembada pangan (beras) yang dicapai
pada tahun 1984, mengenai kebijakan makro pembangunan ekonomi, sepertinya
mematikan politik ekonomi pertanian. Hal ini tercermin dari diturunkannya bea
masuk beras (atas desakan IMF) hanya 30-35%, bahkan sempat 0%, sementara Jepang
sebagai negara industri menerapkan bea masuk beras sebesar 480% untuk
melindungi petaninya.
Dalam buku lainnya, Globalisasi
Kemiskinan dan Ketimpangan (2001:14) menjelaskan dengan sangat jelas dampak
menyedihkan dari globalisasi. Buku yang merupakan laporan khusus dari International
Forum on Globalization ini juga menuliskan pernyataan Mentri Pertanian
Amerika Serikat dalam awal perundingan Putaran Uruguay GATT 1986, yakni John
Block (kala itu) berkaitan tentang ketahanan pangan. Sikap dan kebijakan
pernyataanya berdampak langsung terhadap terciptanya situasi-situasi genting.
Dijelaskan dalam buku tersebut, puluhan juta petani gurem yang dahulu pernah
mengembangkan tanaman pangan untuk mereka dan komunitas mereka, tengah bergantung pada
korporasi-korporasi raksasa. Sehingga rakyat yang semula mampu mencukupi
kebutuhan pangannya sendiri, kini kehilangan tanah, menganggur dan tidak
mempunyai uang, tidak berumah, tergantung dan tertimpa kelaparan. Masyarakat
swasembada dan mandiri lenyap, kebudayaan budaya yang murni lokalpun musnah.
Sejarah, cukup menjadikan pelajaran
kepada kita untuk mengambil langkah penyelesaian lain pada masalah yang
ragamnya sama. Kita tidak ingin menjadi seperti keledai yang jatuh pada lubang
yang sama bahkan lebih sengsaranya ketika belum dapat keluar dari lubang sudah
akan terjatuh lagi. Bukankah menyelesaikan masalah yang diajarkan dalam bangku
pendidikan cukup membuat kita berfikir, bahwa setiap permasalahan yang timbul,
penyelesaiannya dimulai dari akar masalah itu sendiri. Ketidakmampuan Indonesia
memproduksi kebutuhan kedelai dalam negri hingga 2,5 – 3 juta ton harus
didudukkan kembali mengapa demikian. Dalam hal ini tangan-tangan petani
Indonesia perlu dirubah menjadi “bambu runcing” untuk mempertahankan Tanah Air
tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar