Selasa, 22 Oktober 2013

bagaimana kebijakan kedelai?

MENINJAU  KEMBALI KEBIJAKAN ATURAN IMPOR KEDELAI
“Bukan lautan hanya kolam susu, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Syair yang dipublikasikan oleh Koes Plus ini tersiar di seluruh telinga generasi bangsa ini, bahkan kebenarannya diakui di dunia. Mengapa tidak, luasnya daerah daratan dilengkapi dengan lautan, membuat tanah air ini seakan tidak memerlukan bantuan dari kawasan di luarnya. Bahkan jika dikaji, seharusnya  pengoptimalan sumber daya alam Indonesia cukup untuk mengekspor hasil bumi ke negara lain. Inilah alasan kecil yang memotivasi  bahwa “Indonesia Bisa Mandiri” terutama dalam sektor pangan.
Kemandirian Kedelai berbeda dengan ketahanan kedelai. Muhammad Ro’is (Konsultan dan Trainer pertanian  Rapid Agrarian Confilict Appraisal yang dikenal dengan RACA Institute) menjelaskan, “Indonesia baru berorientasi kepada ketahanan pangan, sedangkan Kemandirian pangan berbeda dengan ketahanan pangan, jika hanya sekedar “tahan” solusi impor pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negri merupakan salah satu jalan keluar yang cukup dari masalah ini, berbeda jika orientasinya dirubah menjadi kemandirian.”
            Mengubah aturan impor kedelai sebagai tawaran pemecahan solusi (yang katanya sementara, tapi batas waktunya tidak ditentukan) seolah-olah menjadi “jurus dewa” yang mungkin kelak menjadikan bangsa ini ketergantungan dengan dosis terus meningkat bagaikan narkoba. Perjalanan globalisasi dalam kurun waktu yang cepat ini, cukup untuk dijadikan bahan kajian para pengamat khususnya dalam dunia pertanian. Dalam Tembakau, Negara dan Keserakahan Modal Asing (Ndaru, dkk, 2012:15) dijelaskan bahwa setelah swasembada pangan (beras) yang dicapai pada tahun 1984, mengenai kebijakan makro pembangunan ekonomi, sepertinya mematikan politik ekonomi pertanian. Hal ini tercermin dari diturunkannya bea masuk beras (atas desakan IMF) hanya 30-35%, bahkan sempat 0%, sementara Jepang sebagai negara industri menerapkan bea masuk beras sebesar 480% untuk melindungi petaninya.
            Dalam buku lainnya, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (2001:14) menjelaskan dengan sangat jelas dampak menyedihkan dari globalisasi. Buku yang merupakan laporan khusus dari International Forum on Globalization ini juga menuliskan pernyataan Mentri Pertanian Amerika Serikat dalam awal perundingan Putaran Uruguay GATT 1986, yakni John Block (kala itu) berkaitan tentang ketahanan pangan. Sikap dan kebijakan pernyataanya berdampak langsung terhadap terciptanya situasi-situasi genting. Dijelaskan dalam buku tersebut, puluhan juta petani gurem yang dahulu pernah mengembangkan tanaman pangan untuk mereka dan komunitas  mereka, tengah bergantung pada korporasi-korporasi raksasa. Sehingga rakyat yang semula mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri, kini kehilangan tanah, menganggur dan tidak mempunyai uang, tidak berumah, tergantung dan tertimpa kelaparan. Masyarakat swasembada dan mandiri lenyap, kebudayaan budaya yang murni lokalpun musnah.

            Sejarah, cukup menjadikan pelajaran kepada kita untuk mengambil langkah penyelesaian lain pada masalah yang ragamnya sama. Kita tidak ingin menjadi seperti keledai yang jatuh pada lubang yang sama bahkan lebih sengsaranya ketika belum dapat keluar dari lubang sudah akan terjatuh lagi. Bukankah menyelesaikan masalah yang diajarkan dalam bangku pendidikan cukup membuat kita berfikir, bahwa setiap permasalahan yang timbul, penyelesaiannya dimulai dari akar masalah itu sendiri. Ketidakmampuan Indonesia memproduksi kebutuhan kedelai dalam negri hingga 2,5 – 3 juta ton harus didudukkan kembali mengapa demikian. Dalam hal ini tangan-tangan petani Indonesia perlu dirubah menjadi “bambu runcing” untuk mempertahankan Tanah Air tercinta ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar