Sabtu, 04 Oktober 2014

PEMIKIRAN YUSUF QARDHAWI DALAM BIDANG EKONOMI

1.      PENDAHULUAN
Kewajiban seorang muslim adalah beribadah kepada Allah sebagai wujud rasa syukur dan perintah (dari Raja) bagi seorang hamba kepada Tuhannya.[1]Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia (Qs. Ar-rum : 30), oleh sebab itu ia sesuai dan dapat diterapkan di setiap jaman dan tempat.  Sains dan tekhnologi telah menimbulkan gelombang perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, yakni struktur kehidupan masyarakat, sistem politik, ekonomi, dan lain-lain.[2]
Sejak manusia mengenal hidup bergaul, tumbuhlah suatu masalah bersama yang harus dipecahkan, yakni bagaimana setiap manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. kata “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani, yang berarti aturan, sehingga ekonomi adalah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga (baik dalam lingkup rumah tangga rakyat hingga negara).[3]
Beberapa elemen masalah yang menjadi perhatian para ahli ekonomi: 1).Kegiatan seseorang dan masyarakat dalam produksi, distribusi dan konsumsi.2). Prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan. 3).Terdapatnya sumber-sumber pemenuhan kebutuhan yang dianggap terbatas. 4).Keharusan untuk memilih alternatif (untuk menentukan tujan ataupun menggunakann sumber alternatif).[4]
Sistem ekonomi yang dikenal lahir dari Barat yakni EkonomiKapitalis nampak pengkultusan individu, kepentingan pribadi dan kebebasan  yang bersifat mutlak dalam pemilikkan dan pengembangan, dan pembelajaan harta. Sedangkan pada sistem komunis dalam merealisasikan cita-citanya berpegang pada kekuasaan negara, atau kediktatoran penguasa.
Permasalahan ekonomi yang berkembang semenjak tahun 1776 ketika lahirnya buku Adam smith The Wealth of Nations, mula-mula dipahami sebagai soal bagaimana mencapai kemakmuran, menjadi masalah kemiskinan, konflik antak klas, ras, dan bangsa dan akhir-akhir ini menjadi masalah pembangunan dan pengolahan sumber-sumber secara lestari. Angka anggota masyarakat yang dikatakan oleh prof. Sumitro Djojohadikusumo yakni ‘hanya’ ada sekitar 30 juta masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan, belum bisa berbangga hati jika dibandingkan dengan landasan rendahnya tingkat pendapatan rata-rata perkapita di lingkungan negara-negara ASEAN. Dalam teori ekonomi ini disebabkan oleh rendahnya tingkat produktivitas.[5]
Masalah ekonomi lainnya saat ini, adalah perdagangan internasional dan proteksi , defisit dan utang, kemiskinan (pengangguran dan inflasi), serta kelangkaan.[6]Didin Hafidhudin menuliskan, kehancuran sistem ekonomi saat ini karena paradigma berfikir kapitalis dan sosialisyang telah menjadikan hawa nafsu manusia sebagai pengendali aktivitas ekonominya, bukan moral, etika dan akhlak.[7]
Banyaknya masalah yang ditimbulkan dari ekonomi, menuntut solusi cerdas dalam penyelesaiannya.  Keterpaduan antara akhlak dengan ekonomi kapitalis dan sosialis komunis dipisahkan.  Kegelisahan ekonomi saat ini adalah akibat dari dominasi “nilai-nilai keinginan atas nilai-nilai hakiki[8]. Munculnya pandangan Barat bahwa “alat adalah bagian penting dari kemanusiaan” berdampak tumbuh pula sikap berlebih-lebihan dalam menggunakan berbagai sarana kesenangan yang tidak bermanfaat juga mendapat perhatian dalam pemikiran ekonomi Yusuf Qardhawi.
2.      BIOGRAFI YUSUF QARDHAWI
Muhammad Yusuf Al-Qardhawi di lahirkan di Desa Shafth Turaab, Mesir bagian Barat pada tanggal 9 September 1926 M.  Ia lahir dari keluarga yang tekun beragama. Al-qardhawi dibesarkan oleh pamannya sejak berumur  2 tahun dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Walaupun tidak tumbuh dengan orang tua kandungnya, beliau tetap mendapatkan perhatian cukup besar dari pamannya. Sejak umur 5 tahun ia sudah mulai belajar menghafalkan Al-qur’an, dan pada umur 10 tahun Al-qardhawi sudah hafal secara keseluruhan secara fasih. Beliau disekolahkan pada sekolah dasar di bawah lingkungan Departemen Pendidikan dan Pengajaran Mesir yakni di Madrasah TsanawiyahMa’had Thantha Mesir untuk mempelajari ilmu-ilmu umum. Ia selalu menempati peringkat pertama hingga salah satu guru memberinya gelar Allamah. Ketika di sekolah menengah umum diapun meraih engking kedua untuk tingkat nasional, Mesir. Kemudian A-Qardhawi melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Ushuluddin di Universitas Al-Azhar, ia lulus pada tahun 1952 dengan menduduki rengking pertama dari 180 mahasiswa. Prestasi yang diraihnya tidak berhenti sampai disana, ia melanjutkan  pendidikannya ke jurusan khusus bahasa Arab di Al-azhar, selama 2 tahun dan mendapatkan prestasi juara pertama dari 500 mahasiswa dalam memperoleh ijazah Internasional dan sertifikat pengajaran. Al-qardhawi memperoleh rekomendasi untuk mengajar dari fakultas bahasa dan sastra pada tahun 1954.
Pada tahun 1957 Yusuf Qardhawi melanjutkan studi ke Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian masalah-masalah Arab selama 3 tahun, akhirnya mendapat diploma dibidang bahasa dan sastra. Kembali ia melanjutkan pendidikannya pada Pasca Sarjana jurusan Ilmu-ilmu Al-qur’an dan Sunnah di Fakultas Ushuluddin, tahun 1960 dia mendapatkan Ijazah Master. Beliau berhasil mendapatkan gelar Doktor dengan peringkat “summa comlaude” pada tahun 1973 dengan disertasi yang berjudul “Fiqh Az-zakah” (Zakat dan pengaruhnya dalam memecahkan poblematika sosial).  Keterlambatan beliau yang seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu 2 tahun dikarenakan masa krisis yang menimpa Mesir kala itu, membuatnya harus ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin.
Al-Qardhawi pindah ke Qatar pada tahun 1961 dan sempat mendirikan Madrasah ad-Din (Institute Agama) yang menjadi cikal bakal Fakultas Syari’ah di Universitas Qatar, selanjutnya beliau  duduk sebagai Dekan Fakuultas Syari’ah pada Universitas tersebut. Selain itu, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunah Nabi. Al-qardhawi mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Daha sebagai tempat tinggalnya. Beliau aktif mengisi khutbah-khutbah hingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik karena isi khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu. Disamping itu beliau juga menjadi pengawas para Akademik Para Imam dalam lembagayang berada di bawah kementrian wakaf Mesir. Dan ia sangat berjasa dalam mencerdaskan bangsa melalui bidang pendidikan formal dan non formal.
Pemikiran Yusuf Qardhawi dalam bidang keagamaan dan politik banyak diwarnai oleh pemikiran Syekh Hasan al-Banna.  Mengenai wawasan ilmiahnya, ia dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama al-Azhar. Al-Qardhawi menikah Desember 1958 dengan wanita dari keluarga Hasyimiyah Husainiyah dan dikaruniai 4 orang putri dan 3 orang putra. Putra-putri YusufAl-Qardhawi juga mengukir prestasi dalam pendidikannya.

3.      PEMIKIRAN YUSUF QARDHAWI DALAM EKONOMI
Penjelasan pemikiran ekonomi Yusuf Qardhawi, lebih di titik beratkan kepada perbedaan antara ekonomi Islam dengan  ekonomi hasil teori manusia, yakni terletak pada nilai dan akhlak. Hal ini meliputi urgensi, kedudukan dan dampaknya dalam berbagai bidang ekonomi seperti produksi, konsumsi, perputaran, dan peredaran.
Al-Qardhawi menekankan Ekonomi adalah harapan menjadi ilmu, tetapi bukan ilmu. Dijelaskan olehnya, pemikiran-pemikiran  ekonomi bukanlah pmikiran yang mapan dan permanen, akan tetapi mengalami perubahan dan pergantian (ditetapkan dan dihapuskan, menerima dan menolak sesuai berbagai aliran ekonomi yang ada). Al-Qardhawi juga menguatkan hal ini dengan pendapat ahli ekonomi Amerika Serikat, John Ghams yang menyatakan bahwa ekonomi adalah bukan ilmu, tetapi harapan menjadi ilmu. Pendapat serupa dikemukan oleh Williams James (ahli psikologi terkenal) pada penutup dari pernyataannya bahwa ekonomi bukan ilmu, melainkan keinginan untuk menjadi ilmu.[9]
A.    Nilai Dan Karakteristik Ekonomi Islam
Ekonomi Islam berbeda dengan yang lainnya, dikatakan oleh Yusuf qardhawi bahwa ekonomi Islam adalah “ekonomi Ilahiah”, “ekonomi berwawasan kemanusiaan”, “ekonomi akhlak”, dan “ekonomi pertengahan”. Dijelaskan lebih lanjut, produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi merupakan cabang, buah dan dampak dari makna dan nilai keempat ekonomi diatas sebagai cerminan ataupun penegasan. Sebaliknya jika  tidak demikian, Yusuf Qardhawi menyebut ke-Islam-an hanya sekedar simbol dan pengakuan.
·         Ekonomi Ilahiah
Dikatakan Ekonomi Ilahiah karena bertitik berangkatnya dari Allah. Sehingga tujuan, cara dan kegiatan-kegiatan ekonomi diikatkan pada prinsip Ilahiah yakni tidak bertentangan dengan syari’at Allah SWT. Dasar ayat Al-qur’an berkaitan dengan hal ini tercantum dalam Qs. Al-Mulk : 15, Qs. Al-Baqarah : 168, Qs. Al-‘raf : 31-32, Qs. Al-Isra : 29, Qs. Saba : 15, Qs. Al-Baqarah : 72.
Dengan prinsip Ilahiah, seorang muslim akan selalu tunduk kepada aturan Allah dalam bermuamalah, sehingga ia akan menghindari sesuatu yang haram, tidak akan melakukan penimbunan[10], tidak akan berlaku zalim, menipu, menyuap dan menerima suapan, bahkan dari hal-hal syubhat. Ketika seorang muslim memiliki harta, hartanya tidak mutlak miliknya sehingga tidak bertindak sekehendak hatinya.
Makna selanjutnya dari ekonomi Ilahiah yakni menempatkan kegiatan ekonomi sebagai sarana penunjang baginya dan mejadi pelayan  bagi aqidah dan risalahnya. Yusuf Qardhawi juga menekankan bahwa Ekonomi adalah bagian dari Islam, dan merupakan bagian yang dinamis serta penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan Islam, bukan titik pangkal ajarannya, bukan tujuan risalahnya, bukan ciri peradaban dan bukan pula cita-cita umatnya.
Ekonomi Islam yang Rabbani ini juga menjelaskan adaya pengawasan Internal atau hati nurani, yang ditumbuhkan di dalam diri seorang muslim. Oleh sebab itu, Yusuf Qardhawi merasa pentingnya penfifikan iman dalam rangka mengarahkan perekonomian ke arah yang dikehendaki Islam dan mengendalikannya dengan hukum syari’ah. Dunia persaingan di alam liberalisasi ekonomi yang pelakunya ingin melahap segala sesuatu tetapi tidak pernah merasa kenyang dan tidak mengenal akhlak dan kemuliaan, iman menjadikan pemiliknya memiliki hati yang akan mencintai kebenaran, menginginkan kebajikan, dan mengharapkan kehidupan akhirat seelah dunia. Sehingga, mu’min yang memiliki harta, tidak akan pernah membiarkan harta itu memilikinya.
·         Ekonomi Akhlak
Al-Qardhawi menyatakan bahwa antara ekonomi dan akhlak tidak akan penah terpisah. Tidak hanya dalam ekonomi, akan tetapi berlaku juga dalam dunia politik, perang, dan ilmu. Dikatakan olehnya akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami. Hal ini berdasarkan pada Risalah Islam adalah risalah akhlak, yakni dalam sabda rasulullah saw, “Susungguhnya tiadalah aku diutus , melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak”.
Makna dari ekonomi akhlak ini adalah seorang muslim (baik pribadi ataupun bersama-sama) tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya, ataupun apa yang menguntungkan saja. Hal ini dikarenakan seorang muslim terikan oleh iman dan akhlak pada setiap aktivitas ekonomi yang dilkukannya.
·         Ekonomi Kemanusiaan
Dalam bahasan ekonomi kemanusiaan ini, Al-Qardhawi menjelaskan bahwa manusia adalah merupakan tujuan kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam, sekaligus merupakan saran dan pelakunya, yakni dengan memanfaatkan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Lebih lanjut beliau menuliskan nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang dengannya lahir warisan yang berharga dan peradaban yang istimewa.[11]  Nilai ini yang terkandung dalam makna dari zakat yang diperintahkan Allah.
Disamping itu, ekonomi manusia yang dimaksud oleh Al-Qardhawi, adalah  mewujudkan kehidupan yang baik bagi manusia. Dijelaskan dalam pandangan Islam kehidupan yang baik terdiri dari dua unsur yang saling melengkapi yakni Unsur materi[12]dan Unsur Ruhani.  Zuhud (kesederhanaan) yang diajarkan Islam adalah kemampuan mengatasi syahwat kehidupan dan gemerlapnya dunia dan mendahulukan Akhirat daripada dunia, jika keduanya bertentangan.[13] Sehingga disimpulkan, harta yang menjadikan orang muslim bahagia adalah harta yang mencukupinya, dan menjaganya dari meminta-minta kepada orang lain. Disamping kesehatan dan keamanan.[14]
·         Ekonomi Pertengahan
Ekonomi pertengahan bermakna keadilan yang ditegakkan oleh Islam diantara individu dengan masyarakat. Sistem ekonomi Islam tidak seperti kapitalis, juga tidak seperti sosialis. Qs. Ar-Rahman : 7-9, “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Nilai pertengahan dan keseimbangan yang dibawa oleh Islam adalah  berkaitan dengan dua aspek yakni harta dan pemilikan.
Ø  Sikap Islam terhadap Harta
Yang dimaksud harta disini merupakan bentuk jamak dari kata maal yakni segala sesuatu yangdiinginkan sekali oleh manusian untuk menyimpan dan memilikinya.[15]Islam tidak memihak kelompok orang-orang yang menolak dunia seperti Barahimah (India), Budha (Cina), Manawiah (Persia), Kaum Suci (Yunani), dan sisitem kependetaan (Nasrani), Islam tidak juga memihak pandangan kaum matrealistis dan dahriyyah  sepanjang masa dan disetiap tempat. Akan tetapi, Islam mengambil sikap pertengahan diantara kedua kelompok tersebut.
Oleh karena itu, Harta hanya merupakan sarana untuk mencapai kebaikan berupa hubungan baik dengan Allah dan kepada sesama makhluk. Al-Qardhawi juga membantah pendapat orang yang mengaku ahli tasawwuf bahwa memperbanyak harta merupakan penghalang kepada Allah dan siksaan, sedangkan menyimpannya merupakan hal yang bertentangan dengan tawakal. Hal ini dikaji dari tujuan dan dampaknya. [16]
Dipaparkan juga dalam pembahasan ini bahwa kehidupan ekonomi yang baik adalah sarana mencapai tujuan yang lebih besar. Dan manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi masalah ekonomilah yang diciptakan untuk kepentingan manusia.

Ø   Pertengahan Islam dalam Masalah Kepemilikan.
Islam mengakui kebebasan pemilikan, dan harta milik pribadi yang dijadikan  landasan pembangunan ekonomi, apabila berpegang pada ketentuan Allah.  Pemilikan dengan jalan halal dan pengembangannya pula dengan yang telah disyari’atkan. Berkaitan kepemilikan ini, Islam mewajibkan atas pemiliknya untuk zakat, memberikan nafkah pada kaum kerabat, menolong orang mendapatkan musibah dan membutuhkan, berpasrtisipasi terhadap penyelesaian persoalan masyarakat. Dan sebaliknya, Islam mengharamkan pemilik harta membuat kerusakan di muka bumi.
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa penetapan kepemilikan barang yang bersifat dharuri (sangat dibutuhkan) bagi semua manusia ditiadakan. Hal ini menurut hadist rasulullah saw disebutkan empat hal, yaitu : air, padang rumput, api, dan garam. Sehubungan dengan ini para ahli fiqh menqiyaskan kepada benda yang ditegaskan oleh nash tersebut adalah semua jenis barang tambang yang memenuhi dua unsur, yakni kebutuhan manusia kepadanya, dan mudah didapat (tanpa usaha berarti).





B.     Nilai Dan Moral Dalam Kegiatan Ekonomi

·         PRODUKSI
Yusuf Al-Qardhawi mengawali penjabaran mengenai kegiatan produksi bukanlah menjadi pusat perhatian ekonomi Islam, akan tetapi pada pendistribusian harta. Lebih lanjut ia menggali arti produksi menurut para ahli ekonomi[17] adalah kekayaan alam yang Allah ciptakan untuk kemudian dikelola dengan menggunakan akal yang disertai ilmu dan amal. Kekayaan alam itu berupa fauna, flora, pertambangan, matahari dan bulan. Penekanan kembali titik produksi adalah kewajiban dalam amal bagi yang mampu, dijabarkan seorang muslim tidak boleh duduk berpangku tangan, tidak mau berusaha dengan alasan sibuk ibadah dan tawakal kepada Allah.
Al-qardhawi membagi unsur pokok dalam produksi hanya dua saja, yakni tanah (alam) dan kerja.[18] Alam (bumi) adalah tanah lapangan dan medannya, sedangkan manusia adala pekerjanya, untuk modal sendiri beliau menggolongkannya sebagai alat dan prasarana yang merupakan hasil dari kerja. Kerja disini dipandang sebagai ibadah, dan menuntut setiap muslim untuk mandiri memenuhi kebutuhannya (sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan untuk kehidupan dan makhluk secara umum).
Kegiatan produksi ini menuntut profesional seseorang dalam beramal. Hal ini berkaitan dengan dua akhlak pokok, yakni amanah dan Ikhlas. Makna amanah dan ikhlas ini menyebabkan ia merasa pekerjaanya diawasi Tuhannya. Al-Qardhawi juga mengaitkan produktifitas dengan ketenangan jiwa dan pengaruh istiqomah serta nilai waktu dalam  diri.
Pembatasan seorang muslim terhadap yang halal dalam kegiatan produksi juga menjadi kajian yang tak terpisahkan. Ini merupakan salah satu  letak perbedaan dari sistem ekonomi buatan manusia. Yang tidak mengenal batas-batas halal dan haram. Dan pemeliharaan sumber daya alam merupakan tugas manusia yang diamanahkan Allah untuk mrnjadi khalifah.
Tujuan Produksi mencakup dua pokok yakni merealisasikan pemenuhan kebutuhan baginya dan merealisasikan kemandirian umat. Islam tidak rela umatnya hidup pada tingkatan yang kehidupan yang rendah dan kekurangan. Adapun tingkat kelayakan yang sedapat mungkin dicapai adalah : jumlah makanan dan air yang cukup (agar ia kuat untuk melaksanakan ibadah dan menjaga kebersihan dirinya), pakaian yang menutup aurat, dan tempat tinggal yang sehat.  Sedangkan kemandirian umat mengandung makna terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban dan ketentraman, malalui jalan yang disebut “fardhu kifayah”(mencakup ilmu, amal, industri).
Mencapai kemandirian bagi setiap individu dan umat agar produktif hingga akhirnya merealisasikan kecukupan mendapat penekanan dalam hal ini, Al-Qardhawi menjadikan hadist sebagai dasar pentingnya mandiri dan larangan untuk bergantung kepada orang lain atau menerima shadaqah dari mereka padahal ia kuat dan mampu bekerja dengan ancaman bara api.[19]Kaum muslim boleh meminta dalam beberapa hal[20], sesuai hadist kisah Qabisah bin Mukhariq berikut,:
Berkata Qabisah, “Aku memikul sebuah beban, lalu aku datang kepada Rasulullah sawmeminta sebagiannya. Rasulullah saw bersabda : “Berdirilah sampai ada orang yang datang untuk bershadaqah (zakat). Aku akan menyuruhnya agar shadaqah itu diberikan kepadamu.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Wahai Qabisah sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang : seseorang memiliki beban berat, maka halal baginya meminta-minta, sehingga ia dapat memenuhinya sendiri. Seseorang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka boleh baginya untuk memintasehingga orang itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Seseorag yang tertimpa suatu kesulitan maka halal baginya meminta, sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Orang tersebut harus diperkuat tiga saksidari kaummnya yang menyatakan bahwa orang itu hidupnya susah. Selain yang tiga ini jika meminta, wahai Qabisah, adalah haram, pelakunya sama dengan memakan barang haram” (HR.Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i)
            Merealisasikan pemenuhan kebutuhan umat, dilakukan melalui berbagai cara dan prasarana secara konseptual dan operasional dilakukan bersama-sama (terutama para penguasa yang diberi amanah). Cara tersebut meliputi, kebutuhan perencanaan, persiapan sumber daya manusia dan pembagian tugas yang baik, memberlakukan sumber daya alam dengan baik, keragaman produksi, mengoptimalkan fungsi kekayaan[21]

·         KONSUMSI
Konsumsi mendorong masyarakat untuk memproduksi, hal ini agar terpenuhinya kebutuhan. Dalam nilai dan moral pada bidang ini adalah bagaimana konsumsi diarahkan kepada hal-hal yang baik dan memerangi kebakhilan serta kekikiran. Kewajiban berinfaq dengan dua orientasi infaq yang dituntut adalah infaq dijalan Allah dan nafkah kepada diri dan keluarga.
Setelah sseorang muslim tidak bebas untuk mendapatkan harta dengan jalan haram, ia juga dibatasi dalam pengeluarannya kepada yang haram. Hal ini sebagai penjagaan diri terhadap pertanggung jawaban terhadap harta tersebut. Seorang muslim juga diharuskan menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran agar sebisa mungkin terhindar dari berhutang. Selain itu, nilai dan moral dalam bidang konsumsi mengajarkan untuk menjaga barang-barang inventaris.[22]
            Selain itu, Islam tidak menganjurkan hidup dalam kemewahan. Dijelaskan bahwa sesungguhnya kemewahan adalah perusak individu karena kemewahan menyibukkan manusia dengan nafsu perut dan kemaluannya, melalaikan dari hal-hal mulia dan akhlak luhur, disamping membunuh semangat jihad, kesungguhan dan keperihatinan, dan menjadikannya hamba kehidupan santai dan kesenangan.[23] Demikian pula larangan Islam berupa kecaman Al-qur’an bagi sikap pemborasan dan menyia-nyiakan harta.
            Sehingga Islam membatasi tentang pembelanjaan harta ada du kriteria, yakni batasan yang terkait dengan kriteria sesuatu yang dibelanjakan berupa cara dan sifatnya, serta batasan yang terkait dengan kuantitas dan ukurannya. Penjelasannya adalah, setiap pembelanjaan dalam hal-hal yang diharamkan adalah sesuatu perbuatan boros yang dilarang Islam. Masksud selanjutnya adalah membelanjakan barang atau konsumtif berlebihan terhadap barang yang tidak diperlukan.
            Pembatasan konsumsi  yang ditunjukkan Islam kepada beberapa sasaran pendidikan moral, pendidikan sosial, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan dan jasmani, pendidikan kemiliteran dan politik.  

·         PERPUTARAN
Yang dimaksud sirkulasi/perputaran adalah sejumlah transaksi dan operasi yang dipakai orang untuk sirkulasi barang dan jasa. Perbedaan ekonomi Islam dalam hal ini dikatakan oleh Al-Qardhawi, berjalan menurut aturan yang berbeda dari sistem komunis yang meniadakan kebebasan pasar, dan berbeda dari sistem kapitalis yang membiarkan pasar menjadi liberal sehingga memangsa orang-orang lemah.
Dalam proses perputaran ini diharamkan memperdagangkan barang-barang haram, kemudian proses ini dalam Islam menanamkan kejujuran, amanat, dan nasihat (nasihat disini adalh menyukai kebaikan dan manfaat bagi orang lain sebagaimana untuk dirinya sendiri). Selain itu pula nilai-nilai yang ditetapkan adalah sikap adil dan pengharaman riba.[24] Selanjutnya yaitu kasih sayang dan pengharaman monopoli, disini menekankan nilai toleransi, ukhuwah dan shadaqah. Dan pada titik akhirnya nilai ini bermuara pada bekal pedagang menuju akhirat.
·         DISTRIBUSI
Dalam ekonomi kapitalis, distribusi memiliki empat komponen yang berandil, yakni upah, bunga, ongkos, keuntungan, Islam menolak komponen bunga. Hal ini telah disepakati para ulama Islam dan lembaga fiqh kontemporer juga telah mengadakan konsesus bahwa setiap bentuk bunga adalah riba.[25]

4.      ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN TOKOH
Analisa pemikiran ekonomi Yusuf Qardhawi terhadap pemikiran lokal akan di dudukan kembali dengan permasalahan yang menuntut pemikiran-pemikiran untuk diselesaikan.
Tantangan Islam menghadapi sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, sebagaimana telah dijabarkan sedikit diatas dalam teori Al-Qardhawi yakni ekonomi kemanusiaan dan ekonomi pertengahan, kedua nilai ekonomi yang merupakan wujud nilai dan karakteristik ekonomi Islam dinilai mampu mengembalikan pelaku ekonomi (muslim) kepada seseorang yang memiliki moral dan etika  menjadi seseorang yang akan mencapai tujuan tertinggi.
Dawam Rahardjo menjelaskan kegiatan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan etis dan moral. Hal ini merupakan kesimpulan dari pengertian mengenai moral dan ilmu moral yang dirumuskan oleh Boulding (yang sejalan dengan pengertian umum mengenai ilmu ekonomi)[26]. Selain itu Didin Hafidhuddin yang menjelaskan bahwa masalah terjadi karena dikendalikannya aktivitas ekonomi oleh hawa nafsu dan bukan moral, etika serta akhlak, sesuai dengan penyelesaian yang ditawarkan oleh Yusuf Qardhawi.
Permasalahan ekonomi soal bagaimana mencapai kemakmuran, menjadi masalah kemiskinan, konflik antak klas, ras, dan bangsa dan akhir-akhir ini menjadi masalah pembangunan dan pengolahan sumber-sumber secara lestari. Angka anggota masyarakat ‘hanya’ ada sekitar 30 juta masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan, rendahnya tingkat produktivitas. Inipun sudah bisa diselesaikan dengan menerapkan teori ekonomi yang dijabarkan diatas.
Konsep kepemilikan dan zakat, serta motivasi bagi seorang muslim untuk membangun kemandirian dengan menanamkan ekonomi Ilahiah, dinilai cukup efektif untuk keluar dari masalah tersebut. A. Dawam pun menyatakan, umat Islam memiliki komitmen yang sistematik dalam rukun Islam untuk memberantas kemiskinan (zakat), ditambahkan olehnya ketimpangan antara warga miskin yang jauh memerlukan diambilnya prakarsa pengembangan kegiatan produktif guna memberantas kemiskinan.[27]
S.M. Hasanuz Jaman, seorang bankir Pakistan (Ekonomi Muslim), Ekonomi Islam adalah  pengetahuan dan aplikasi dari suruhan-suruhan dan tata aturan syari’ah, yang bertujuan untuk mencegah ketidakadilan dalam penelitian dan pemanfaatan sumber-sumber material, guna memenuhi kebutuhan manusia sehingga memungkinkan mereka melaksanakan perintah-perintah Allah dan kewajiban masyarakat.
Tantangan Globalisasi yang semakin marak di Indonesia, memberikan kekhawatiran yang tak bisa dibilang ringan. Berkaitan dengan ini, globalisasi pun sudah pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw, yakni ketika nabi dan para sahabat melakukan perniagaan ke luar negri seperti ke Mesir, Syam, Irak, Yaman, Turky, dan Spanyol. Riwayat dari kisah Umar bin Khattab yang ketika melewati pasar dan melihat banyak orang yang berdagang/melibatkan diri dalam peniagaan adalah orang luar dan awam. Hal ini membuat Umar ra bersedih. Dan berkata beberapa orang kepada Umar ra “tapi tuan, Allah telah menaklukan untuk kita banyak negara dan harta rampasan perang telah sampai ketangan kita demikian banyaknya. Ini menyebabkan kita tidak perlu lagi berniaga untuk memenuhi kebutuhan. Dan Umar ra menjawab ”jika kamu ingin meninggalkan kkegiatan perniagaan sebagai tanggung jawab, kamu akan mendapatkan bahwa kaum lelaki kamu akan bergantung dengan lelaki mereka dan kaum perempuanmu akan bergantung kepada kum perempuan mereka”[28].
Mengapa Indonesia selalu kalah langkah dalam ekonomi, dipaparkan pula oleh Prof. Dr. H. Matthias Aroef, MSIE. IPM dan Ir. Jusman Syafi’i Djamal dalam bukunya “Grand economic Strategy, Siasat Memicu Produktivitas Untuk Memenangkan Persaingan Global” bahwa ketiadaan kesadaran “Indonesia Incorporated”, dan sikap “cuek” pemimpin dalam peningkatan mutu dan kinerja.[29] Ia membandingkan Indonesia dengan Jepang dan Amerika Serikat dalam penilaiannya, walaupun demikian hal ini dapat dibenarkan mengingat kekayaan alam Indonesia yang pada dasarnya tidak kalah dari kedua negara tersebut. Namun penyelesaian intinya adalah dikembalikan kembali kepada kualitas individunya yang ditinjau dari nilai dan moral.


5.      KESIMPULAN
Permasalahan ekonomi menjadi masalah utama dalam pembangunan sebuah peradaban, disamping bidang lain yakni politik, dan budaya. Namun kemakmuran dalam bidang ekonomi bukanlah cita-cita utama dalam penilaian kemajuan sebuah bangsa. Islam adalah kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari segala bidang. Hasil akhir dari Islam adalah menciptakan manusia yang baik, dengan dasar nilai dan moral sesuai dengan syari’at Allah SWT. Parameter kebaikan dalam Islam adalah kebenaran berdasarkan wahyu Allah bukan berdasarkan kesepakatan manusia semata (mendefinisikan kebaikan).
Dengan tersedianya sumber daya alam dan manusia yang merupakan faktor produksi ekonomi, Indonesia akan dapat lepas dari masalah-masalah ekonomi yang sedang menjangkitnya dengan menerapkan teori ekonomi Yusuf Qardhawi (yang sudah dipaparkan diatas). Pada Akhirnya, masalah kemiskinan, ketergantungan, dan kelangkaan Sumber daya baik alam maupun manusia dapat diselesaikan.






DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim.” Ekonomi Islam suatu kajian Kontempore. mencermati Globalisasi”. Jakarta : Gema Insani : Jakarta, 2001.
Alkaaf. Abdullah  Zaky. 2002. “Ekonomi Dalam Perspektif Islam.” Bandung : Pustaka Setia
Hafidhuddin. Didin. 2002.  “Zakat dalam Perekonomian Modern” Jakarta : Gema Insani
Lipsey. Richard G, Douglas D. Purvis. 1990.“Pengantar Mikroekonomi edisi kesembilan yang diterjemahkan dari judul asli Economics” (Jakarta: Binarupa Aksara. 1990, hal 3))
Media Tim Hidayatullah, Biografi Singkat Dr_ Al-Qardhawi, Media Homepage.html,
Prof. Dr. H. Matthias Aroef, MSIE. IPM, Ir. Jusman Syafi’i djamal. “Grand Techno-economic Strategy, Siasat Memicu Produktivitas untuk Memenangkan Persaingan Global.” ( Jakarta : Mizan, 2009)
Qardhawi. Yusuf. 2001.  “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam”. Jakarta : Robbani Press. 
Rahardjo. A.Dawam. 1999. “Islam dan Transformasi  Sosial-Ekonomi.” Jakarta : LSAF
Saefuddin,A.M,dkk. 2010. “On Islamic Civilizatio, Menyalakan Kembali  Lentera Peradaban Islam Yang Sempat Padam Editor: Laode M. Kamaluddin”. Semarang : UNISSULA Press.




[1] Qs. Adzariyat : 56-58 : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu. Aku tidak menghendaki rizeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepadaKu. Sungguh Allah, Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
[2] Nirwan Syafrin dalam tulisannya berjudul “sebuah tantangan menghadapi gempuran “Hukum Barat yang Sekular-Liberal” mengatakan Islam melihat perubahan sebagai sunatullah. Sehingga letak persoalan dari masalah yang ditimbulkan adalah pada sikap kita (muslim) menghadapi perubahan tersebut. (A. M. Saefuddin, dkk. “On Islamic Civilizatio, Menyalakan Kembali  Lentera Peradaban Islam Yang Sempat Padam”. Semarang : UNISSULA Press, 2010. Hal. 489). Yusuf Qardhawi pun menjelaskan bahwa Islam lebih integral dari sekedar agama, ia adalah dunia, ibadah dan mua’malah, aqidah dan syari’ah, kebudayaan dan peradaban, agama dan negara. Sehingga pembahasan ekonomi atas pemikiran Yusuf Qardhawi adalah ekonomi dari sudut Islam bukan dari sekedar sudut agama. (Yusuf Qardhawi. “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam”. Jakarta : Robbani Press, 2001. Hal. 17) 
[3]KH. Abdullah Zaky Alkaaf. Ekonomi Dalam Perspektif Islam. (Bandung : Pustaka Setia, 2002) Hal. 19
[4]A. M. Saefuddin, dkk.On Islamic Civilitation Menyalakan kembali lentera Peradaban Islam yang sempat padaam. Editor Laode M. Kamaluddin( Semarang.  : Unisulla, 2010. Hal. 572)
[5]M. Dawam Rahardjo dengan judul “Aplikasi Nilai-nilai Islam Bidang Ekonomi”.  yang dimuat dalam buku A.M. Saifuddin.“On Islamic Civilizatio, Menyalakan Kembali  Lentera Peradaban Islam Yang Sempat Padam Editor: Laode M. Kamaluddin”. Semarang : UNISSULA Press.
Hal. 580
[6]Richard G. Lipsey, Douglas D. Purvis. “Pengantar Mikroekonomi edisi kesembilan yang diterjemahkan dari judul asli Economics” (Jakarta : Binarupa Aksara. 1990, hal 3)
[7]Dalam catatan kaki, Didin Hafidhuddin. “Zakat dalam Perekonomian Modern” (Jakarta : Gema Insani, 2002. hal. 67)
[8]Yusuf Qardhawi. Hal. 62
[9]Yusuf qardhawi hal.19.  hal ini terlihat berbeda pada buku DR. K.H. Didin Hafiduddin, M.Sc, yang berjudul “Zakat dalam Perekonomian Modern” memaparkan bahwa ilmu ekonomi adalah suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang perorang dan kelompok-kelompok masyarat menentukan pilihan.Selain itu jabaran ilmu ekonomi juga diungkapkan oleh Alfred Marshall, “Ilmu ekonomi merupakan studi tentang umat manusia dalam kehidupan sehari-hari” (Richard G. Lipsey, Douglas D. Purvis. “Pengantar Mikroekonomi edisi kesembilan yang diterjemahkan dari judul asli Economics”(Jakarta : Binarupa Aksara. 1990, hal 3))

[10]“Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang jahat” (HR Muslim dari Makmar bin Abdillah)
[11]Contoh nilai yang dimaksud adalah nilai kemerdekaan dan kemuliaan kemanusiaan, keadilan, dan menetapkan hukum kepada manusia berdasarkan keadilan tersebut, nilai persaudaraan dan memerengi sifat permusuhan yang akan mengikis agama.(Yusuf Qardhawi. Op.cit ...... hal. 65)
[12]Unsur materi yang dijelaskan mencakup makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat tinggal, kendaraan, kehidupan suami istri, permainan (hiburan), keindahan dan perhiasan.
[13]Yusuf Qardhawi. Op.cit..... hal. 76
[14]Al-Qardhawi mengakat kasus ini dari sebuah hadist HR Bukhari, “Barang siapa bangun pagi-pagi dengan merasa aman dihatinya, sehat pada badannya, memiliki makanan pokok untuk hari itu, maka seolah-olah ia dilingkari dunia dengan segala isinya.”
[15]Didin Hafidhuddin. “Zakat dalam Perekonomian Modern” (Jakarta : Gema Insani, 2002. hal. 67)
[16]Dalam bahasan lebih lanjut, yusuf Al-qardhawi mengambil dasar dari banyak riwayat hadist. Dan pendapat Ibnul Jauzi yang menolak pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa meninggalkan harta yang halal lebih utama daripada mengumpulkannya. Ibnu Jauzi tidak demikian, dikatakan olehnya, apabila maksud dan tujuannya lurus maka mengumpulkan harta yang halal jauh lebih utama, tanpa ada perbedaan pendapat dikalangan para Ulama”.  Selain itu Said bin Musayyib berkata, “Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mencari harta. Dengan harta ia bisa membayar utangnya dan menjaga  kehormatannya.”  Dan dikuatkan juga oleh perkataan Qurthubi. (Yusuf Al-Qardhawi.... op.cit.... hal. 99)
[17]Definisi produksi menurut para ahli ekonomi disebutkan,”menciptakan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan.” (Yusuf Al-Qardhawi.Op.cit.... hal.138)
[18]Pada pendapat ekonomi kapitalis, unsur ini ada tiga, yakni ditambah dengan modal.
[19]“Barang siapa meminta harta kepada orang lain, karena ia ingin memperbayak, maka sesungguhnya ia telah meminta bara api, karena itu hendaklah ia mandiri atau berusaha memperbanyak sendiri” HR. Muslim dan Abu Hurairah.
[20]Yusuf Qardhawi. Op.cit.... hal 193
[21]Dalam hal ini berupa mata uang. Dikatakan oleh Qardhawi, muslim wajib mengeluarkan uang dari simpanannya ke medan kegiatan dan aktifitas.
[22]Maksudnya adalah jangan biarkan sikap  konsumtif membuat rumah dan barang-barang inventaris lainnya tergadaikan.
[23]Yusuf Qardhawi. Op.cit. hal. 253
[24]kesalahpahaman pendukung riba, dikatakan karena mereka merasa keuntungan yang didapat oleh peminjam dari pengelolaan uang yang dipinjamnya berasal dari hasil perpaduan antara kerja dan modal.
[25]Beberapa pendapat lainnya dikarenakan perbedaan interpretasi mengenai riba yakni Riba adalah bunga atas pinjaman konsumtif (Mohammad Hatta), bunga atau transaksi yang bersifat memeras (Syafruddin Prawiranegara) atau bunga yang berlipat ganda (A. Hasan).  (dalam Makalah M. Dawam Rahardjo dengan judul “Aplikasi Nilai-nilai Islam Bidang Ekonomi”.  yang dimuat dalam buku A.M. Saifuddin. Op.cit.... hal.588)
[26]Pernyataan Preposisi moral atau etika yang di preferensikan adalah “keputusan penilaian” mengarah pada urutan-urautan tingkat preferensi di berbagai alternatif.  Islam adalah suatu moral dan etika yang mengatur prilaku manusia. (A.  Dawam.... op.cit.. hal. 580)
[27]A. Dawam Rahardji. “Islam dan Transformasi  Sosial-Ekonomi.” (Jakarta : LSAF, 199. Hal. 450)
[28]A. KarimAdiwarman.” Ekonomi Islam suatu kajian Kontempore. mencermati Globalisasi”. Jakarta : Gema Insani : Jakarta, 2001.Hal. 50
[29]Prof. Dr. H. Matthias Aroef, MSIE. IPM, Ir. Jusman Syafi’i djamal. “Grand Techno-economic Strategy, Siasat Memicu Produktivitas untuk Memenangkan Persaingan Global.”( Jakarta : Mizan, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar