Sabtu, 04 Oktober 2014

PEMIKIRAN YUSUF QARDHAWI DALAM EKONOMI 2

3.      PEMIKIRAN YUSUF QARDHAWI DALAM EKONOMI
Penjelasan pemikiran ekonomi Yusuf Qardhawi, lebih di titik beratkan kepada perbedaan antara ekonomi Islam dengan  ekonomi hasil teori manusia, yakni terletak pada nilai dan akhlak. Hal ini meliputi urgensi, kedudukan dan dampaknya dalam berbagai bidang ekonomi seperti produksi, konsumsi, perputaran, dan peredaran.
Al-Qardhawi menekankan Ekonomi adalah harapan menjadi ilmu, tetapi bukan ilmu. Dijelaskan olehnya, pemikiran-pemikiran  ekonomi bukanlah pmikiran yang mapan dan permanen, akan tetapi mengalami perubahan dan pergantian (ditetapkan dan dihapuskan, menerima dan menolak sesuai berbagai aliran ekonomi yang ada). Al-Qardhawi juga menguatkan hal ini dengan pendapat ahli ekonomi Amerika Serikat, John Ghams yang menyatakan bahwa ekonomi adalah bukan ilmu, tetapi harapan menjadi ilmu. Pendapat serupa dikemukan oleh Williams James (ahli psikologi terkenal) pada penutup dari pernyataannya bahwa ekonomi bukan ilmu, melainkan keinginan untuk menjadi ilmu.[9]
A.    Nilai Dan Karakteristik Ekonomi Islam
Ekonomi Islam berbeda dengan yang lainnya, dikatakan oleh Yusuf qardhawi bahwa ekonomi Islam adalah “ekonomi Ilahiah”, “ekonomi berwawasan kemanusiaan”, “ekonomi akhlak”, dan “ekonomi pertengahan”. Dijelaskan lebih lanjut, produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi merupakan cabang, buah dan dampak dari makna dan nilai keempat ekonomi diatas sebagai cerminan ataupun penegasan. Sebaliknya jika  tidak demikian, Yusuf Qardhawi menyebut ke-Islam-an hanya sekedar simbol dan pengakuan.
·         Ekonomi Ilahiah
Dikatakan Ekonomi Ilahiah karena bertitik berangkatnya dari Allah. Sehingga tujuan, cara dan kegiatan-kegiatan ekonomi diikatkan pada prinsip Ilahiah yakni tidak bertentangan dengan syari’at Allah SWT. Dasar ayat Al-qur’an berkaitan dengan hal ini tercantum dalam Qs. Al-Mulk : 15, Qs. Al-Baqarah : 168, Qs. Al-‘raf : 31-32, Qs. Al-Isra : 29, Qs. Saba : 15, Qs. Al-Baqarah : 72.
Dengan prinsip Ilahiah, seorang muslim akan selalu tunduk kepada aturan Allah dalam bermuamalah, sehingga ia akan menghindari sesuatu yang haram, tidak akan melakukan penimbunan[10], tidak akan berlaku zalim, menipu, menyuap dan menerima suapan, bahkan dari hal-hal syubhat. Ketika seorang muslim memiliki harta, hartanya tidak mutlak miliknya sehingga tidak bertindak sekehendak hatinya.
Makna selanjutnya dari ekonomi Ilahiah yakni menempatkan kegiatan ekonomi sebagai sarana penunjang baginya dan mejadi pelayan  bagi aqidah dan risalahnya. Yusuf Qardhawi juga menekankan bahwa Ekonomi adalah bagian dari Islam, dan merupakan bagian yang dinamis serta penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan Islam, bukan titik pangkal ajarannya, bukan tujuan risalahnya, bukan ciri peradaban dan bukan pula cita-cita umatnya.
Ekonomi Islam yang Rabbani ini juga menjelaskan adaya pengawasan Internal atau hati nurani, yang ditumbuhkan di dalam diri seorang muslim. Oleh sebab itu, Yusuf Qardhawi merasa pentingnya penfifikan iman dalam rangka mengarahkan perekonomian ke arah yang dikehendaki Islam dan mengendalikannya dengan hukum syari’ah. Dunia persaingan di alam liberalisasi ekonomi yang pelakunya ingin melahap segala sesuatu tetapi tidak pernah merasa kenyang dan tidak mengenal akhlak dan kemuliaan, iman menjadikan pemiliknya memiliki hati yang akan mencintai kebenaran, menginginkan kebajikan, dan mengharapkan kehidupan akhirat seelah dunia. Sehingga, mu’min yang memiliki harta, tidak akan pernah membiarkan harta itu memilikinya.
·         Ekonomi Akhlak
Al-Qardhawi menyatakan bahwa antara ekonomi dan akhlak tidak akan penah terpisah. Tidak hanya dalam ekonomi, akan tetapi berlaku juga dalam dunia politik, perang, dan ilmu. Dikatakan olehnya akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami. Hal ini berdasarkan pada Risalah Islam adalah risalah akhlak, yakni dalam sabda rasulullah saw, “Susungguhnya tiadalah aku diutus , melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak”.
Makna dari ekonomi akhlak ini adalah seorang muslim (baik pribadi ataupun bersama-sama) tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya, ataupun apa yang menguntungkan saja. Hal ini dikarenakan seorang muslim terikan oleh iman dan akhlak pada setiap aktivitas ekonomi yang dilkukannya.
·         Ekonomi Kemanusiaan
Dalam bahasan ekonomi kemanusiaan ini, Al-Qardhawi menjelaskan bahwa manusia adalah merupakan tujuan kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam, sekaligus merupakan saran dan pelakunya, yakni dengan memanfaatkan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Lebih lanjut beliau menuliskan nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang dengannya lahir warisan yang berharga dan peradaban yang istimewa.[11]  Nilai ini yang terkandung dalam makna dari zakat yang diperintahkan Allah.
Disamping itu, ekonomi manusia yang dimaksud oleh Al-Qardhawi, adalah  mewujudkan kehidupan yang baik bagi manusia. Dijelaskan dalam pandangan Islam kehidupan yang baik terdiri dari dua unsur yang saling melengkapi yakni Unsur materi[12]dan Unsur Ruhani.  Zuhud (kesederhanaan) yang diajarkan Islam adalah kemampuan mengatasi syahwat kehidupan dan gemerlapnya dunia dan mendahulukan Akhirat daripada dunia, jika keduanya bertentangan.[13] Sehingga disimpulkan, harta yang menjadikan orang muslim bahagia adalah harta yang mencukupinya, dan menjaganya dari meminta-minta kepada orang lain. Disamping kesehatan dan keamanan.[14]
·         Ekonomi Pertengahan
Ekonomi pertengahan bermakna keadilan yang ditegakkan oleh Islam diantara individu dengan masyarakat. Sistem ekonomi Islam tidak seperti kapitalis, juga tidak seperti sosialis. Qs. Ar-Rahman : 7-9, “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Nilai pertengahan dan keseimbangan yang dibawa oleh Islam adalah  berkaitan dengan dua aspek yakni harta dan pemilikan.
Ø  Sikap Islam terhadap Harta
Yang dimaksud harta disini merupakan bentuk jamak dari kata maal yakni segala sesuatu yangdiinginkan sekali oleh manusian untuk menyimpan dan memilikinya.[15]Islam tidak memihak kelompok orang-orang yang menolak dunia seperti Barahimah (India), Budha (Cina), Manawiah (Persia), Kaum Suci (Yunani), dan sisitem kependetaan (Nasrani), Islam tidak juga memihak pandangan kaum matrealistis dan dahriyyah  sepanjang masa dan disetiap tempat. Akan tetapi, Islam mengambil sikap pertengahan diantara kedua kelompok tersebut.
Oleh karena itu, Harta hanya merupakan sarana untuk mencapai kebaikan berupa hubungan baik dengan Allah dan kepada sesama makhluk. Al-Qardhawi juga membantah pendapat orang yang mengaku ahli tasawwuf bahwa memperbanyak harta merupakan penghalang kepada Allah dan siksaan, sedangkan menyimpannya merupakan hal yang bertentangan dengan tawakal. Hal ini dikaji dari tujuan dan dampaknya. [16]
Dipaparkan juga dalam pembahasan ini bahwa kehidupan ekonomi yang baik adalah sarana mencapai tujuan yang lebih besar. Dan manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi masalah ekonomilah yang diciptakan untuk kepentingan manusia.

Ø   Pertengahan Islam dalam Masalah Kepemilikan.
Islam mengakui kebebasan pemilikan, dan harta milik pribadi yang dijadikan  landasan pembangunan ekonomi, apabila berpegang pada ketentuan Allah.  Pemilikan dengan jalan halal dan pengembangannya pula dengan yang telah disyari’atkan. Berkaitan kepemilikan ini, Islam mewajibkan atas pemiliknya untuk zakat, memberikan nafkah pada kaum kerabat, menolong orang mendapatkan musibah dan membutuhkan, berpasrtisipasi terhadap penyelesaian persoalan masyarakat. Dan sebaliknya, Islam mengharamkan pemilik harta membuat kerusakan di muka bumi.
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa penetapan kepemilikan barang yang bersifat dharuri (sangat dibutuhkan) bagi semua manusia ditiadakan. Hal ini menurut hadist rasulullah saw disebutkan empat hal, yaitu : air, padang rumput, api, dan garam. Sehubungan dengan ini para ahli fiqh menqiyaskan kepada benda yang ditegaskan oleh nash tersebut adalah semua jenis barang tambang yang memenuhi dua unsur, yakni kebutuhan manusia kepadanya, dan mudah didapat (tanpa usaha berarti).

B.     Nilai Dan Moral Dalam Kegiatan Ekonomi

·         PRODUKSI
Yusuf Al-Qardhawi mengawali penjabaran mengenai kegiatan produksi bukanlah menjadi pusat perhatian ekonomi Islam, akan tetapi pada pendistribusian harta. Lebih lanjut ia menggali arti produksi menurut para ahli ekonomi[17] adalah kekayaan alam yang Allah ciptakan untuk kemudian dikelola dengan menggunakan akal yang disertai ilmu dan amal. Kekayaan alam itu berupa fauna, flora, pertambangan, matahari dan bulan. Penekanan kembali titik produksi adalah kewajiban dalam amal bagi yang mampu, dijabarkan seorang muslim tidak boleh duduk berpangku tangan, tidak mau berusaha dengan alasan sibuk ibadah dan tawakal kepada Allah.
Al-qardhawi membagi unsur pokok dalam produksi hanya dua saja, yakni tanah (alam) dan kerja.[18] Alam (bumi) adalah tanah lapangan dan medannya, sedangkan manusia adala pekerjanya, untuk modal sendiri beliau menggolongkannya sebagai alat dan prasarana yang merupakan hasil dari kerja. Kerja disini dipandang sebagai ibadah, dan menuntut setiap muslim untuk mandiri memenuhi kebutuhannya (sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan untuk kehidupan dan makhluk secara umum).
Kegiatan produksi ini menuntut profesional seseorang dalam beramal. Hal ini berkaitan dengan dua akhlak pokok, yakni amanah dan Ikhlas. Makna amanah dan ikhlas ini menyebabkan ia merasa pekerjaanya diawasi Tuhannya. Al-Qardhawi juga mengaitkan produktifitas dengan ketenangan jiwa dan pengaruh istiqomah serta nilai waktu dalam  diri.
Pembatasan seorang muslim terhadap yang halal dalam kegiatan produksi juga menjadi kajian yang tak terpisahkan. Ini merupakan salah satu  letak perbedaan dari sistem ekonomi buatan manusia. Yang tidak mengenal batas-batas halal dan haram. Dan pemeliharaan sumber daya alam merupakan tugas manusia yang diamanahkan Allah untuk mrnjadi khalifah.
Tujuan Produksi mencakup dua pokok yakni merealisasikan pemenuhan kebutuhan baginya dan merealisasikan kemandirian umat. Islam tidak rela umatnya hidup pada tingkatan yang kehidupan yang rendah dan kekurangan. Adapun tingkat kelayakan yang sedapat mungkin dicapai adalah : jumlah makanan dan air yang cukup (agar ia kuat untuk melaksanakan ibadah dan menjaga kebersihan dirinya), pakaian yang menutup aurat, dan tempat tinggal yang sehat.  Sedangkan kemandirian umat mengandung makna terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban dan ketentraman, malalui jalan yang disebut “fardhu kifayah”(mencakup ilmu, amal, industri).
Mencapai kemandirian bagi setiap individu dan umat agar produktif hingga akhirnya merealisasikan kecukupan mendapat penekanan dalam hal ini, Al-Qardhawi menjadikan hadist sebagai dasar pentingnya mandiri dan larangan untuk bergantung kepada orang lain atau menerima shadaqah dari mereka padahal ia kuat dan mampu bekerja dengan ancaman bara api.[19]Kaum muslim boleh meminta dalam beberapa hal[20], sesuai hadist kisah Qabisah bin Mukhariq berikut,:
Berkata Qabisah, “Aku memikul sebuah beban, lalu aku datang kepada Rasulullah sawmeminta sebagiannya. Rasulullah saw bersabda : “Berdirilah sampai ada orang yang datang untuk bershadaqah (zakat). Aku akan menyuruhnya agar shadaqah itu diberikan kepadamu.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Wahai Qabisah sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang : seseorang memiliki beban berat, maka halal baginya meminta-minta, sehingga ia dapat memenuhinya sendiri. Seseorang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka boleh baginya untuk memintasehingga orang itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Seseorag yang tertimpa suatu kesulitan maka halal baginya meminta, sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Orang tersebut harus diperkuat tiga saksidari kaummnya yang menyatakan bahwa orang itu hidupnya susah. Selain yang tiga ini jika meminta, wahai Qabisah, adalah haram, pelakunya sama dengan memakan barang haram” (HR.Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i)
            Merealisasikan pemenuhan kebutuhan umat, dilakukan melalui berbagai cara dan prasarana secara konseptual dan operasional dilakukan bersama-sama (terutama para penguasa yang diberi amanah). Cara tersebut meliputi, kebutuhan perencanaan, persiapan sumber daya manusia dan pembagian tugas yang baik, memberlakukan sumber daya alam dengan baik, keragaman produksi, mengoptimalkan fungsi kekayaan[21]

·         KONSUMSI
Konsumsi mendorong masyarakat untuk memproduksi, hal ini agar terpenuhinya kebutuhan. Dalam nilai dan moral pada bidang ini adalah bagaimana konsumsi diarahkan kepada hal-hal yang baik dan memerangi kebakhilan serta kekikiran. Kewajiban berinfaq dengan dua orientasi infaq yang dituntut adalah infaq dijalan Allah dan nafkah kepada diri dan keluarga.
Setelah sseorang muslim tidak bebas untuk mendapatkan harta dengan jalan haram, ia juga dibatasi dalam pengeluarannya kepada yang haram. Hal ini sebagai penjagaan diri terhadap pertanggung jawaban terhadap harta tersebut. Seorang muslim juga diharuskan menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran agar sebisa mungkin terhindar dari berhutang. Selain itu, nilai dan moral dalam bidang konsumsi mengajarkan untuk menjaga barang-barang inventaris.[22]
            Selain itu, Islam tidak menganjurkan hidup dalam kemewahan. Dijelaskan bahwa sesungguhnya kemewahan adalah perusak individu karena kemewahan menyibukkan manusia dengan nafsu perut dan kemaluannya, melalaikan dari hal-hal mulia dan akhlak luhur, disamping membunuh semangat jihad, kesungguhan dan keperihatinan, dan menjadikannya hamba kehidupan santai dan kesenangan.[23] Demikian pula larangan Islam berupa kecaman Al-qur’an bagi sikap pemborasan dan menyia-nyiakan harta.
            Sehingga Islam membatasi tentang pembelanjaan harta ada du kriteria, yakni batasan yang terkait dengan kriteria sesuatu yang dibelanjakan berupa cara dan sifatnya, serta batasan yang terkait dengan kuantitas dan ukurannya. Penjelasannya adalah, setiap pembelanjaan dalam hal-hal yang diharamkan adalah sesuatu perbuatan boros yang dilarang Islam. Masksud selanjutnya adalah membelanjakan barang atau konsumtif berlebihan terhadap barang yang tidak diperlukan.
            Pembatasan konsumsi  yang ditunjukkan Islam kepada beberapa sasaran pendidikan moral, pendidikan sosial, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan dan jasmani, pendidikan kemiliteran dan politik.  

·         PERPUTARAN
Yang dimaksud sirkulasi/perputaran adalah sejumlah transaksi dan operasi yang dipakai orang untuk sirkulasi barang dan jasa. Perbedaan ekonomi Islam dalam hal ini dikatakan oleh Al-Qardhawi, berjalan menurut aturan yang berbeda dari sistem komunis yang meniadakan kebebasan pasar, dan berbeda dari sistem kapitalis yang membiarkan pasar menjadi liberal sehingga memangsa orang-orang lemah.
Dalam proses perputaran ini diharamkan memperdagangkan barang-barang haram, kemudian proses ini dalam Islam menanamkan kejujuran, amanat, dan nasihat (nasihat disini adalh menyukai kebaikan dan manfaat bagi orang lain sebagaimana untuk dirinya sendiri). Selain itu pula nilai-nilai yang ditetapkan adalah sikap adil dan pengharaman riba.[24] Selanjutnya yaitu kasih sayang dan pengharaman monopoli, disini menekankan nilai toleransi, ukhuwah dan shadaqah. Dan pada titik akhirnya nilai ini bermuara pada bekal pedagang menuju akhirat.
·         DISTRIBUSI
Dalam ekonomi kapitalis, distribusi memiliki empat komponen yang berandil, yakni upah, bunga, ongkos, keuntungan, Islam menolak komponen bunga. Hal ini telah disepakati para ulama Islam dan lembaga fiqh kontemporer juga telah mengadakan konsesus bahwa setiap bentuk bunga adalah riba.[25]


1 komentar: