Sabtu, 04 Oktober 2014

KESANTUNAN DALAM KATA, APAKAH UNTUK SEMUA?

“Kata-katamu adalah kualitas dirimu”. Ungkapan singkat yang tidak asing terdengar dalam keseharian kita. Atau istilah lainnya, “You are what you say”. Menarik, kata yang dirangkai dan terucap dari mulut seseorang ataupun yang terlukis dalam setiap huruf dalam goresan, rupanya menjadi salah satu faktor penilaian tentang siapa diri kita.  Oleh karenanya,  topik “kesantunan” menjadi satu kasus yang dibahas dalam seminar berlanjut oleh BMP Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta bekerja sama  dengan Balai Bahasa Propinsi Jawa Tengah pada hari Sabtu, 25 Januari 2014 lalu, dengan tema “Ketidaksantunan Berbahasa dan Dampaknya dalam Pembentukan Karakter”.
Menjadi bahan pemikiran dalam benak, apakah kesantunan dalam kata dapat diberlakukan untuk semua? Kesantunan dalam mayarakat memiliki berbagai faktor yang mempengaruhi parameternya, seperti waktu, sosial, dan budaya. Tiga hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Kisyani Laksono, M.Hum dalam seminar tersebut. Tema yang diangkat di sini menghubungkan antara kesantunan dengan pendidikan karakter, artinya penggunaan kata untuk menyampaikan sebuah kabar/informasi secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi karakter seseorang. Di sini ada sebuah proses pendidikan non akademis yang juga menempati nilai kepentingan dalam membangun sebuah peadaban. 
 Berbicara kata, akan terkait tentunya dengan bahasa. Bahasa diciptakan sebagai alat komunikasi universal yang diharapkan dapat dimengerti oleh setiap manusia untuk melakukan suatu interaksi sosial dengan manusia lainnya. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi atau alat untuk berinteraksi. Menurut Fishman (1972), fungsi bahasa dapat dilihat dari berbagai sudut antara lain, sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. [Alison Sealey ; 2004]
Drs. Pardi Suratno, M.Hum menjelaskan bahwa budaya Indonesia adalah santun, hal ini dikaitkan dengan bahasa. Lebih lanjut ia juga menyampaikan mengenai peran bahasa dalam membentuk kesantunan budaya, di sini yang digaris bawahi adalah bahasa dibentuk oleh masyarakat.  Bahasa memproyeksi kehidupan, mempengaruhi, membentuk, menentukan sikap dan budaya seseorang, masyarakat dan bangsa. Dari sana, akan dapat dievaluasi sejauh mana kesantunan bahasa yang kita gunakan, sesuaikah dengan jati diri bangsa Indonesia.
Pergaulan yang kini tertangkap indera menuntut kita agar lebih selektif dalam menyerap kata-kata yang beredar dalam pergaulan keseharian, terkait budaya Indonesia yang saat ini seakan gagap menghadapi budaya asing seperti dalam bidang fashion, makanan, bahkan sampai tingkat politik. Dalam pembahasan ini akan dikerucutkan pada sisi  bahasa yang digunakan masyarakat apakah sudah santun pada tempat yang tepat atau tidak.
Ketidaksantunan berbahasa, dibagi menjadi dua yakni dalam tulisan serta ujaran. Ketidaksantunan bahasa dalam tulisan mencakup karya ilmiah dan ijazah (adanya plagiasi atau tidak), karya sastra, pada materi ajar, poster, dan pesan (termasuk pesan elektronik). Sedangkan ketidaksantunan berbahasa dalam ujaran mencakup ancaman, tuduhan, sapaan, dan pembiasaan.
Pusat pengkajian Balai Bahasa provinsi Jawa Tengah sudah mulai berkonsentrasi dalam masalah kesantunan berbahasa dalam pembentukan karakter, hal ini tampak dari berbagai program kerjanya. Namun dalam pelaksanaannya perlu ada kerjasama dari setiap individu, disebabkan penggunaan bahasa memiliki sanksi yang dikembalikan kepada pribadi.
Bahasa Indonesia merangkum dan menyatukan persamaan persepsi dalam kesantunan bahasa, seperti pemakaian ‘kamu’ sebagai orang kedua tunggal akan dinilai lebih aman dipakai pada setiap orang Indonesia dari berbagai suku dibandingkan dengan  ‘kowe’ yang sudah dinilai santun oleh masyarakat Yogyakarta namun kasar bagi masyarakat Solo. Kata ‘kamu’ akan lebih santun lagi tingkatannya dengan menggunakan ‘engkau’. Sama halnya penggunaan kata ‘dia’ ; ‘ia’ ; ‘beliau’ sebagai orang ketiga tunggal. Adanya kasta dalam pemakaian kata berbanding lurus dengan tingkat kesantunan. 
 Gaya bahasa dalam ajaran bahasa Indonesia pun memiliki berbagai macam fungsi, salah satunya adalah menghaluskan sebuah istilah agar lebih santun terdengar di telinga. Seperti halnya ‘orang gila’ yang disebut sebagai penderita  ‘sakit jiwa’, atau kata ‘tuli’ dengan ‘tuna rungu’, dan kata ‘buta’ dengan ‘tuna netra’. Kayanya bahasa Indonesia menjadi salah satu keutamaan untuk mempertahankan diri dari penyerapan bahasa asing. Bahkan saat ini, kekayaan bahasa itu bertambah dengan adanya kata-kata ‘alay’ hingga terangkum dalam sebuah kamus.
Menjadi pertimbangan sendiri, apakah perkembangan bahasa ‘alay’ ini menjadi salah satu pendukung meningkatnya kekayaan dalam berbahasa atau sebaliknya, akan mengikis kesantunan karakter dari masyarakat Indonesia yang sudah ada? Mengingat, dalam keseharian saat ini, ketika seseorang dalam percakapan santai menggunakan bahasa standar (bahasa Indonesia yang baik) akan mendapatkan sindiran dari lawan bicara atau pendengarnya yang melontarkan, “Wuiiiihhh Bro, lagi pidato lo ya... eike pucing dengernya”.  Hal ini umumnya terjadi pada generasi muda kita, yang seolah penggunaan kata sebagaimana mestinya menjadi asing diterima mereka, bahkan hal ini terbawa pada konteks percakapan dengan seorang yang lebih dewasa. Sehingga kesantunan dalam komunikasi menjadi penuh toleransi, “Biasa, anak sekarang”.
 Di sisi lain, hal lebih parah pun terjadi. Penghalusan makna dengan alasan agar lebih santun diterima pendengar, maka para wanita yang menjajaki dirinya dalam bidang seks diperkenalkan dengan sebutan “PSK” (Pekerja Seks Komersial). Sebelumnya, kita mengenalnya dengan “Tuna Susila” (yang sesungguhnya ini pun sudah dinilai halus) dibandingkan dengan penyebutan sebagai “Pelacur”. Perubahan panggilan bagi mereka yang jelas-jelas melakukan sebuah pelanggaran, seakan dinaikkan derajatnya seperti orang lain yang berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan.
Menarik penyampaian oleh ust. Adian Husaini dalam perubahan penggunaan kata ini, masyarakat dipaksa menerima dan menaruh iba pada wanita-wanita yang bekerja sebagai pelacur untuk mempertahankan dirinya agar dapat tetap hidup. Sehingga, kesantunan bahasa dalam menyampaikan sebuah ilmu dalam kasus ini perlu dipertimbangkan. Hal ini bukan hanya terletak pada santun atau tidak dalam berbahasa, akan tetapi membungkus sesuatu yang haram agar dapat diberikan tempat dalam kebaikan.
Diskusi di  stasiun tv swasta pada hari senin, 27 Januari 2014 lalu mengangkat tema “lokalisasi”. Rasa empati membuat sebagian bintang tamu condong membela/ melindungi kegiatan pelacuran dengan mendukung program lokalisasi. Dalam diskusi tersebut pemerhati HIV AIDS (mungkin) dengan alasan humanis berargumen bahwa pelacuran adalah penyakit sosial yang harus disembuhkan dan dicegah penyebarannya dengan ‘lokalisasi’.  Mengkaji dari diskusi tersebut, penempatan rasa dan sikap empati hingga melunakkan diri dari perbuatan yang sudah jelas-jelas larangannya akan berperan dalam pembukaan pintu kemaksitan lebih  besar.

Kemunkaran ilmu merupakan kemunkaran yang terbesar dalam perspektif Islam, ia merupakan sumber kesalahan asasi. Ilmu yang salah mengacaukan batas antara al-haq dan al-bathil. Orang yang bathil tidak menemukan jalan untuk bertaubat, sebab dia merasa apa yang dilakukannya adalah tindakan yang baik. Dan penggunaan kata sebagai salah satu sarana pembentukan karakter perlu didampingi oleh ilmu dasar yang menjadi alat seleksi untuk lebih kritis terhadap derasnya tantangan yang harus dihadapi.
Add caption

Tidak ada komentar:

Posting Komentar