“Kata-katamu adalah kualitas dirimu”.
Ungkapan singkat yang tidak asing terdengar dalam keseharian kita. Atau istilah
lainnya, “You are what you say”. Menarik, kata yang dirangkai dan
terucap dari mulut seseorang ataupun yang terlukis dalam setiap huruf dalam
goresan, rupanya menjadi salah satu faktor penilaian tentang siapa diri
kita. Oleh karenanya, topik “kesantunan” menjadi satu kasus yang
dibahas dalam seminar berlanjut oleh BMP Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta bekerja sama dengan Balai
Bahasa Propinsi Jawa Tengah pada hari Sabtu, 25 Januari 2014 lalu, dengan tema
“Ketidaksantunan Berbahasa dan Dampaknya dalam Pembentukan Karakter”.
Menjadi bahan pemikiran dalam benak, apakah
kesantunan dalam kata dapat diberlakukan untuk semua? Kesantunan dalam
mayarakat memiliki berbagai faktor yang mempengaruhi parameternya, seperti
waktu, sosial, dan budaya. Tiga hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Kisyani
Laksono, M.Hum dalam seminar tersebut. Tema yang diangkat di sini menghubungkan
antara kesantunan dengan pendidikan karakter, artinya penggunaan kata untuk
menyampaikan sebuah kabar/informasi secara langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi karakter seseorang. Di sini ada sebuah proses pendidikan non
akademis yang juga menempati nilai kepentingan dalam membangun sebuah
peadaban.
Berbicara kata, akan terkait tentunya dengan
bahasa. Bahasa diciptakan sebagai alat komunikasi universal yang diharapkan
dapat dimengerti oleh setiap manusia untuk melakukan suatu interaksi sosial
dengan manusia lainnya. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi
atau alat untuk berinteraksi. Menurut Fishman (1972), fungsi bahasa dapat
dilihat dari berbagai sudut antara lain, sudut penutur, pendengar, topik, kode,
dan amanat pembicaraan. [Alison Sealey ; 2004]
Drs. Pardi Suratno, M.Hum menjelaskan bahwa
budaya Indonesia adalah santun, hal ini dikaitkan dengan bahasa. Lebih lanjut
ia juga menyampaikan mengenai peran bahasa dalam membentuk kesantunan budaya,
di sini yang digaris bawahi adalah bahasa dibentuk oleh masyarakat. Bahasa memproyeksi kehidupan, mempengaruhi,
membentuk, menentukan sikap dan budaya seseorang, masyarakat dan bangsa. Dari
sana, akan dapat dievaluasi sejauh mana kesantunan bahasa yang kita gunakan,
sesuaikah dengan jati diri bangsa Indonesia.
Pergaulan yang kini tertangkap indera
menuntut kita agar lebih selektif dalam menyerap kata-kata yang beredar dalam
pergaulan keseharian, terkait budaya Indonesia yang saat ini seakan gagap
menghadapi budaya asing seperti dalam bidang fashion, makanan, bahkan
sampai tingkat politik. Dalam pembahasan ini akan dikerucutkan pada sisi bahasa yang digunakan masyarakat apakah sudah
santun pada tempat yang tepat atau tidak.
Ketidaksantunan berbahasa, dibagi menjadi dua
yakni dalam tulisan serta ujaran. Ketidaksantunan bahasa dalam tulisan mencakup
karya ilmiah dan ijazah (adanya plagiasi atau tidak), karya sastra, pada materi
ajar, poster, dan pesan (termasuk pesan elektronik). Sedangkan ketidaksantunan
berbahasa dalam ujaran mencakup ancaman, tuduhan, sapaan, dan pembiasaan.
Pusat pengkajian Balai Bahasa provinsi Jawa
Tengah sudah mulai berkonsentrasi dalam masalah kesantunan berbahasa dalam
pembentukan karakter, hal ini tampak dari berbagai program kerjanya. Namun
dalam pelaksanaannya perlu ada kerjasama dari setiap individu, disebabkan
penggunaan bahasa memiliki sanksi yang dikembalikan kepada pribadi.
Bahasa Indonesia merangkum dan menyatukan
persamaan persepsi dalam kesantunan bahasa, seperti pemakaian ‘kamu’ sebagai
orang kedua tunggal akan dinilai lebih aman dipakai pada setiap orang Indonesia
dari berbagai suku dibandingkan dengan
‘kowe’ yang sudah dinilai santun oleh masyarakat Yogyakarta namun kasar
bagi masyarakat Solo. Kata ‘kamu’ akan lebih santun lagi tingkatannya dengan
menggunakan ‘engkau’. Sama halnya penggunaan kata ‘dia’ ; ‘ia’ ; ‘beliau’
sebagai orang ketiga tunggal. Adanya kasta dalam pemakaian kata berbanding
lurus dengan tingkat kesantunan.
Gaya
bahasa dalam ajaran bahasa Indonesia pun memiliki berbagai macam fungsi, salah
satunya adalah menghaluskan sebuah istilah agar lebih santun terdengar di telinga.
Seperti halnya ‘orang gila’ yang disebut sebagai penderita ‘sakit jiwa’, atau kata ‘tuli’ dengan ‘tuna
rungu’, dan kata ‘buta’ dengan ‘tuna netra’. Kayanya bahasa Indonesia menjadi
salah satu keutamaan untuk mempertahankan diri dari penyerapan bahasa asing.
Bahkan saat ini, kekayaan bahasa itu bertambah dengan adanya kata-kata ‘alay’ hingga
terangkum dalam sebuah kamus.
Menjadi pertimbangan sendiri, apakah
perkembangan bahasa ‘alay’ ini menjadi salah satu pendukung meningkatnya
kekayaan dalam berbahasa atau sebaliknya, akan mengikis kesantunan karakter
dari masyarakat Indonesia yang sudah ada? Mengingat, dalam keseharian saat ini,
ketika seseorang dalam percakapan santai menggunakan bahasa standar (bahasa
Indonesia yang baik) akan mendapatkan sindiran dari lawan bicara atau
pendengarnya yang melontarkan, “Wuiiiihhh Bro, lagi pidato lo ya... eike pucing
dengernya”. Hal ini umumnya terjadi pada
generasi muda kita, yang seolah penggunaan kata sebagaimana mestinya menjadi
asing diterima mereka, bahkan hal ini terbawa pada konteks percakapan dengan
seorang yang lebih dewasa. Sehingga kesantunan dalam komunikasi menjadi penuh
toleransi, “Biasa, anak sekarang”.
Di
sisi lain, hal lebih parah pun terjadi. Penghalusan makna dengan alasan agar
lebih santun diterima pendengar, maka para wanita yang menjajaki dirinya dalam
bidang seks diperkenalkan dengan sebutan “PSK” (Pekerja Seks Komersial). Sebelumnya,
kita mengenalnya dengan “Tuna Susila” (yang sesungguhnya ini pun sudah dinilai
halus) dibandingkan dengan penyebutan sebagai “Pelacur”. Perubahan panggilan
bagi mereka yang jelas-jelas melakukan sebuah pelanggaran, seakan dinaikkan
derajatnya seperti orang lain yang berusaha mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan.
Menarik penyampaian oleh ust. Adian Husaini
dalam perubahan penggunaan kata ini, masyarakat dipaksa menerima dan menaruh
iba pada wanita-wanita yang bekerja sebagai pelacur untuk mempertahankan
dirinya agar dapat tetap hidup. Sehingga, kesantunan bahasa dalam menyampaikan
sebuah ilmu dalam kasus ini perlu dipertimbangkan. Hal ini bukan hanya terletak
pada santun atau tidak dalam berbahasa, akan tetapi membungkus sesuatu yang
haram agar dapat diberikan tempat dalam kebaikan.
Diskusi di
stasiun tv swasta pada hari senin, 27 Januari 2014 lalu mengangkat tema
“lokalisasi”. Rasa empati membuat sebagian bintang tamu condong membela/
melindungi kegiatan pelacuran dengan mendukung program lokalisasi. Dalam
diskusi tersebut pemerhati HIV AIDS (mungkin) dengan alasan humanis berargumen
bahwa pelacuran adalah penyakit sosial yang harus disembuhkan dan dicegah
penyebarannya dengan ‘lokalisasi’. Mengkaji
dari diskusi tersebut, penempatan rasa dan sikap empati hingga melunakkan diri
dari perbuatan yang sudah jelas-jelas larangannya akan berperan dalam pembukaan
pintu kemaksitan lebih besar.
Kemunkaran ilmu merupakan kemunkaran yang
terbesar dalam perspektif Islam, ia merupakan sumber kesalahan asasi. Ilmu yang
salah mengacaukan batas antara al-haq dan al-bathil. Orang yang bathil tidak
menemukan jalan untuk bertaubat, sebab dia merasa apa yang dilakukannya adalah
tindakan yang baik. Dan penggunaan kata sebagai salah satu sarana pembentukan
karakter perlu didampingi oleh ilmu dasar yang menjadi alat seleksi untuk lebih
kritis terhadap derasnya tantangan yang harus dihadapi.
![]() |
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar